~~ Prolog ~~

7.3K 377 6
                                    

Rahel sesekali melirik ke arah penunjuk waktu yang melingkar di tangannya. Lima menit lagi sebelum bel masuk dan dia masih berada di angkutan umum. Belum lagi macet yang menghambat laju angkot yang rasanya berjalan hanya satu senti semenit. Berhubung sekolahnya sudah tidak terlalu jauh lagi, Rahel memutuskan untuk turun di tempat itu dan meneruskan dengan jalan kaki. Dia berusaha mempercepat langkahnya secepat mungkin sembari melewati trotoar menuju sekolahnya.

"Argh!"

Suara erangan itu membuatnya menoleh, seorang murid dengan seragam yang sama - meski  ditambah topi dan jaket berwarna hitam - dengannya terguling di pinggir jalan. Kelihatannya cowok itu barusaja diserempet motor. Jalanan menuju sekolah mereka memang tidak semacet jalan utama yang memungkinkan murid hampir telat agak ugal-ugalan supaya tidak terlambat.

"Ya ampun! Kamu nggak apa-apa?" Rahel memekik, berlari mendekati cowok yang kini sudah menyingkir dan duduk di atas trotoar sembari memandangi sikutnya yang berdarah. "Kamu berdarah!" Rahel makin memekik.

Dengan sigap gadis itu membuka ranselnya. Sungguh beruntung Rahel adalah anggota PMR yang selalu siap siaga dengan perban, alkohol dan obat merah di tasnya. Dia memberikan pertolongan pertama pada sikut cowok itu.

"Argh!" teriak si cowok ketika dengan kejamnya Rahel menuang alkohol diatas lukanya.

"Aduh, kayaknya kamu terkilir deh. Kamu ke rumah sakit aja dulu!" katanya sembari membubuhkan obat merah, jaket cowok itu sobek lumayan besar wajar saja kalau sampai terkilir. Dibalutnya luka itu dengan perban lalu menempelnya dengan plester. Yah, dia puas dengan pekerjaannya yang selalu rapi.

"Yaudah, nanti kamu telat!" akhirnya cowok itu bersuara. Mengingatkan apa yang tadi sudah membuat Rahel kelabakan.

Mendengar ucapan si cowok, Rahel kembali memekik, "Ya ampun! Aku lupa! Iya! Udah ya! Aku ke sekolah dulu! Jangan lupa ke rumah sakit! Kalo nggak diobatin nanti tangan kamu bisa cacat loh!" katanya sembari membereskan barang-barangnya, lalu bangkit. "Dah! Maaf aku nggak bisa nemenin kamu!" teriaknya sembari berlari.

Sedangkan cowok itu tersenyum di balik topi yang dipakainya.

Rival in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang