Page 23

1.8K 173 9
                                    


Tali yang dipegang Rahel tiba-tiba terasa ringan. Tubuhnya terbawa ke belakang dan terjatuh. Mereka menang. Teriakan riuh terdengar. Rahel belum sadar di mana dia jatuh sebelum sebuah tangan melingkar di pinggangnya.

Rahel membeku, dia tidak merasa keras di bagian di mana dia jatuh. Yang ada hanya hangat dan lembut. Sebuah tangan melingkar di pinggang membuat Rahel berjengit.

"Berat Hel. Pindah..." keluh Wikan mendorong pinggang Rahel agar membantunya berdiri.

"Eh, sori." Rahel buru-buru menghindar begitu mereka sudah duduk. "Kita menang ya?"

"Gila, kecil-kecil ternyata berat juga. Belom boker apa?" omel Wikan sembari membersihkan siku kaosnya yang kotor karena rumput kering.

Dengan cemberut, Rahel memukul tangan kepala itu. "Ih! Orang nanya apa dijawab apa!"

"Woi! Sengaja ya biar ni pala jadi begok?" erang Wikan mengelus kepala.

Rahel hanya melengos acuh tak acuh, itu dilakukannya untuk menutupi malu atas candaan yang dilemparkan Wikan dan juga saat tadi dia terjatuh dalam pelukan cowok itu. kenapa prediksi Wikan bisa benar? Jangan bilang Wikan mau melindunginya agar tidak tertimpa?

"Hel, kita menang. Yuhuuu. Masuk final!" Mona yang datang dari barisan belakang langsung menarik tangan Rahel membantunya berdiri.

"Jadi masih harus tanding sekali lagi?" Rahel terbelalak maksudnya mereka harus tarik-tarikan lagi. Harus jatuh di pelukan Wikan lagi kalau menang?

"Iya! Lawan anak IPA 2!" Mona bersemangat, "kita di kasih waktu istirahat sebentar. Yuk."

Mengangguk, Rahel mengikuti langkah Mona untuk menjenguk Sonya yang sudah duluan duduk dengan jus di tangan. Sedangkan Wikan hanya memandangi punggung Rahel yang menghilang di balik orang-orang di sekitarnya.

***

Malam ini, Rahel sekali lagi ingin menikmati segar udara malam. Tapi, Rahel memilih untuk keluar lebih malam lagi. Menunggu sampai Wikan masuk ke kamar. Dia tak mau jika harus menikmati malam bersama cowok itu. Walau tidak bertegur sapa.

Tadi siang, mereka kalah di babak final. Itu artinya Rahel tidak terjatuh di atas tubuh Wikan. Yah, memang tidak. Tapi lebih parah dari itu. bukannya jatuh ditimpa Wikan, malah cowok itu memeluk Rahel dengan tubuhnya hingga Rahel tidak tertimpa barisan yang ada di belakang. Dan itu membuat Rahel justru kepikiran. Wikan benar-benar melindunginya, dan itu membuat sesuatu di dalam dadanya nyeri-nyeri hangat.

Seperti hari ini sudah cukup larut. Jam tangan Rahel menunjukkan pukul satu malam. Rahel memakai cardigan lalu keluar dari kamar. Langkah Rahel sempat terhenti lantaran Wikan ternyata masih ada di luar jam segini. Tapi, seperti yang dilakukan cowok itu kemarin, begitu pun Rahel juga pura-pura tidak melihatnya. Tidak mungkin Rahel masuk kembali ke kamar 'kan?

Rahel menyandarkan tubuh di pagar besi. Angin malam kencang sekali, tapi tapi Rahel tetap suka. Selama beberapa saat, Rahel menikmati hembusan angin dalam diam. Di antara semilir itu, Rahel mendengar suara langkah mendekat ke arahnya. Sebenarnya Rahel bisa menebak itu siapa, tapi dia tidak ingin menoleh dan tetap menatap lurus ke depan.

"Hei, gigi item. Ngapain malem-malem keluar? Ntar dikarungin kamu." tanya Wikan yang saat ini sudah ada di samping Rahel, dengan tangan yang tersarung di dalam saku celana.

"Bukan urusan kamu, kenapa sih deket-deket?" jawab Rahel santai tanpa menoleh pada Wikan, pandangan Wikan juga jauh ke depan.

"Kan aku tanya? Mungkin kamu lagi nemuin temen di sini?" tanya Wikan dengan menyembunyikan senyum konyol.

"Maksudnya?" Rahel mengerutkan kening. Hmm, mungkin Wikan ingin bercanda masalah putri duyung atau semacamnya.

"Udang, *maybe*? Mereka 'kan sama kayak kamu, nggak punya otak."

Rival in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang