Mata Rahel dengan teliti memperhatikan wajah Wikan yang berjarak dekat dengan miliknya. Wajah itu basah, dan di sana ada mata yang menatap begitu serius ke arah Rahel. Membuat jantungnya bereaksi aneh.
Rahel langsung memalingkan wajah dari Wikan. Cowok itu menunjukkan gelagat canggung.
"Kamu lap sendiri aja," Wikan menyodorkan sapu tangan yang tadi dia rogoh di saku celana, dan dia pakai untuk menyeka air di wajah Rahel.
Setelah menerima sapu tangan itu dengan canggung, Rahel menyeka air yang membasahi wajah dan rambutnya. Hujan sepertinya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Yang artinya Wikan dan Rahel akan terjebak lebih lama di tempat ini.
Mereka membiarkan pintu terbuka agar pertukaran udara tetap terjaga. Meski pun berventilasi, ruangan ini memiliki udara yang pengap untuk dihuni manusia. Belum lagi bau tikus yang memenuhi gudang. Tapi, kali ini bau tikus itu terganti oleh aroma petrichor yang menyeruak. Itu membuat Rahel menjadi agak lega.
Rahel berusaha keras untuk tidak memikirkan apa yang terjadi setelah hujan dan sebelum terjebak disini. Tidak ada yang istimewa dengan semua itu, tapi kenapa Rahel selalu ingin mengenangnya. Mulai dari Wikan yang menyeretnya ke gudang, meminjami Rahel jaket dan menyeka air di wajah Rahel. Rahel merasa bahwa tatapan cowok itu hampir membunuhnya.
Wikan mengusap-usap lengan untuk menimbulkan rasa hangat. Namun, kelihatan semua itu percuma karena pakaian cowok itu sudah basah semuanya. Bahkan Rahel bisa melihat 'bagian dalam' Wikan karena seragam berwarna putih itu sudah menyerap air dan menjeplak tubuh cowok itu. Belum lagi rambut yang terlihat seperti habis bershampo. Air belum bosan menetes dari sana.
Tubuh Wikan terlihat menggigil, bibirnya berubah pucat. Hal itu membuat Rahel merasa tak enak.
"Kamu aja yang pake jaket. Kayaknya kamu yang lebih butuh, deh."
Cowok itu menggeleng, kini dia melipat kedua tangan di dada untuk menghangatkan tubuh. "Pegangan tangan aja. Dingin nih..."
"Hah?"
Rahel sebenarnya mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Wikan. Namun, dia tidak yakin apakah dia berhalusinasi atau tidak. Atau telinganya lagi kotor atau tidak.
Tangan Wikan terjulur ke arah Rahel, dengan alis yang naik turun berulang kali Wikan melempar senyum miringnya. Meminta Rahel menyambut uluran tangannya.
"Ih, ogah!"
"Ya udah, kalo gitu peluk aja..." Wikan mengangkat kedua tangan, bersiap ingin memeluk Rahel.
"Eh, eh, eh! Awas ya kamu kalo berani peluk-peluk!" Rahel membuat gerakan memukul kepada Wikan sehingga cowok itu mundur beberapa langkah menjauhi Rahel. "Dasar mesum!"
Wikan mendengus mendengar serapah Rahel. Tangan Rahel yang masih melayang hendak memukul itu langsung ditangkap oleh cowok itu. Bahkan dia makin mengeratkan genggaman itu saat Rahel memaksa untuk melepasnya.
Tangan Wikan begitu dingin, Rahel sempat kaget mengetahui betapa dingin tangan itu. Rahel kemudian mengurungkan niat untuk memaksa Wikan melepas genggaman tangan itu. Yah, ini hanya berdasarkan rasa kasihan. Tidak akan ada masalah kan? Lagipula ini hanya pegangan tangan saja! Rahel meyakinkan diri.
"Aku suka kamu, tapi, masalah persaingan aku nggak bisa kasih kamu kompensasi." Wikan berhasil membuka tangan Rahel, dan menyatukan telapak tangan mereka. Telapak tangan Rahel mungil, tapi sangat-sangat hangat.
Rahel merasakan wajahnya terbakar di tengah cuaca dingin. "Tapi, aku udah punya pacar. Dan, aku nggak suka kamu." Tukasnya yakin. Dan entah mengapa dia merasa tenggorokan tiba-tiba kering saat mengucapkan semua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Teen FictionRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...