Page 3

2.8K 186 2
                                    


"Wikan! Kamu selanjutnya!"

Kelas mendadak hening. Seluruh pasang mata yang ada disana serempak menoleh ke arah cowok yang masih bergeming. Hanya bahunya yang bergerak pelan, mendandakan Wikan masih hidup dan bernafas.

Setelah beberapa detik menatapi Wikan, akhirnya, Mona yang posisi duduknya paling dekat dengan Wikan berinisiatif membangunkan cowok itu. Digoyangnya bahu Wikan agak kasar, sampai cowok itu mengerang protes.

Wikan bangun, memandang Mona dengan tatapan penuh tanya dengan kening berkerut.

"Kamu disuruh maju ke depan tuh?" Mona menggerakkan dagunya ke arah depan kelas.

Wikan menoleh, memperhatikan Rahel yang berdiri di depan sedang melipat tangan di depan dada dan menatap tajam ke arahnya. Perlahan, Wikan bangun, kemudian meregangkan tubuh dengan mengangkat kedua tangan sembari menguap lebar.

Cowok itu mulai beranjak menuju ke arah depan kelas. Bahunya bertabrakan dengan Rahel yang hendak kembali ke tempat duduk.

"Nama, Wikan Admiraharja. Terima kasih."

"Jiaaah! Ini mah lebih pendek dari Rahel. Panjangin dikit kek. Ukuran sepatu mungkin? Atau nama hewan peliharaan?" lagi-lagi si cowok berambut plontos, menceletuk dengan suara paling besar. Diikuti suara-suara lain yang setuju, sehingga suasana kelas kembali bising seperti semula.

"Ya udah, kalian maunya apa? "

Siwi mengacungkan tangan, dia mulai berbicara ketika mendapat anggukan setuju dari Wikan. "O ya, aku sih suka bingung, kamu itu bisa menang olimpiade sains. Tapi, kok nggak pernah dapet rengking satu sih?" terdengar dengung setuju dari dalam kelas, mereka serempak menatap Wikan untuk menantikan jawaban. Termasuk Rahel juga.

Wikan mengangkat sebelah alisnya. "Oh itu, biasa aja sih, karena nggak pengen aja jadi pusat perhatian." Lalu dia menggedikkan bahunya, ditatapnya Rahel. "Kalo aku mau, juara umum doang gampang kok."

"Terus, kemaren kok bisa menang? Katanya nggak mau jadi pusat perhatian?" Siwi menambahkan pertanyaan.

"Yah, disuruh bu Yani. Katanya harus serius, kalo nggak nanti diadukan nyokap. Beliau temenan sama nyokap."

"Oooo..." terdengar seruan itu dari seluruh kelas dengan nada yang sama.

"Kamu pasti rajin belajar ya?" kali ini Sonya ikut-ikutan bertanya dengan wajah kalem.

"Belajar?" Wikan terkekeh meremehkan. "Ngapain? Buku itu cukup dibaca sekali aja udah cukup."

"Terus, kamu nggak takut nilai jeblok? Padahal kenyataannya kamu mampu?" ini suara Andro. Kelihatannya seluruh isi kelas penasaran dengan Wikan yang terkenal tak pernah bergaul dengan teman sekolah, sehingga hanya sedikit orang yang tahu tentang Wikan.

Di antara semua murid yang penasaran itu ada Rahel yang perlahan-lahan merasa terbakar di dada.

"Nilai bagiku nggak penting. Itu cuma angka. Kalo nilaiku bagus, itu artinya aku lagi iseng pengen serius. Lagipula buat apa nilai gede? Aku yakin bisa lolos masuk universitas manapun, kalau ikut tes nanti." Jawabnya santai, kemudian menggaruk-garuk telinga iseng. "Masih ada nggak yang mau ditanya?"

"Apa? Nilai nggak penting? Dapat nilai gede karena iseng?" suara lantang namun manis itu sukses membuat kelas kembali mengalihkan perhatiannya. Di bangku, Rahel dengan mata berapi-api menatap garang pada Wikan. "Sedangkan orang lain rela ngabisin waktu luangnya buat belajar mati-matian supaya bisa dapet biaya kuliah gratis? Aku tahu kamu bangga punya otak cerdas. Tapi, kamu nggak berhak ngomong bahwa nilai itu nggak penting!"

Rival in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang