Rahel membeku. Setelah berhasil meminta izin dengan sekuriti untuk masuk. Gadis itu kini sudah berdiri di depan pintu rumah yang besar, sudah lebih dari tiga puluh menit dan dia tak kunjung berani menekan bel rumah itu. tangan kurusnya menggantung dengan telunjuk teracung tepat di depan bel rumah.Rantang di tangan Rahel hampir terlempar ketika mendengar suara berisik pintu di buka. Rahel mundur satu langkah sembari menahan nafas. Jantungnya hampir saja pecah saking kagetnya.
Di balik pintu, Wikan muncul dengan wajah dan rambut yang berantakan. Memakai baju kaos dengan celana piyama. Wajanya terlihat pucat dan lesu.
"Kenapa nggak pencet bel?" katanya dengan suara yang lemah dan serak, lalu membuka pintu lebar-lebar, "masuk."
"K-kok kamu bisa tahu aku dateng?" Rahel melihat kesana-kemari dan menemukan CCTV yang terpasang di atas pintu rumah. "Ah, CCTV?"
Wikan menggeleng, dia berjalan menuju ke dalam rumah diikuti Rahel. Kelihatannya Wikan belum terlalu sehat karena cara berjalan yang terlihat tak lurus, seakan sebuah senggolan kecil akan merobohkan dirinya.
"Nggak kok. Monitor CCTV itu ada di pos sekuriti. Aku ditelepon Pak Asep katanya kamu di depan pintu."
Wajah Rahel memanas. Jadi selama setengah jam tadi seluruh tingkah bodohnya yang berdiam di depan pintu dilihat oleh sekuriti yang menjaga rumah Wikan? Jadi Pak Asep itu sekuriti yang menelepon Wikan dan memberi tahu cowok itu kalau Rahel tidak juga meminta dibukakan pintu. Oke, fiks, memalukan!
Rahel membersihkan suaranya dengan berdeham. Sebisa mungkin dia akan bersikap biasa saja. Selama Wikan tidak membahas hal itu, dia akan baik-baik saja.
Mereka sampai di ruang tengah yang luas, dimana terdpat sofa empuk, televisi besar dan karpet halus yang terbentang. Wikan membaringkan tubuhnya di atas sofa lalu menyelimuti dirinya.
"Sori, aku masih harus istirahat. Nggak bisa lama-lama duduk apalagi berdiri." Katanya.
Mengangguk mengerti, Rahel memilih untuk duduk di karpet yang kelihatannya memang disediakan khusus untuk menonton televisi sambil selonjoran, karena terdapat beberapa bantal sofa yang berserakan di sana. Untuk beberapa saat Rahel menikmati waktu dengan mengagumi rumah Wikan yang besar, udaranya dingin karena air conditioner. Rahel bisa melihat bagian dapur yang besar dan meja makan mewah dengan muatan kursi yang sangat banyak. Tangga menuju lantai dua terlihat megah seperti di film-film India. Rahel pikir rumah semacam ini hanya ada di dalam studio film saja.
"Kamu belum jawab pertanyaanku loh?"
"Eh apa?" Rahel mengedipak matanya polos.
"Kenapa kamu nggak pencet bel? Udah berapa lama kamu disitu?"
Rahel mencoba memutar otaknya. Lalu dengan tenang dia menjawab, "karena aku masih mikir aku ini waras apa nggak? Bayangin, ke rumah kamu, bawa makanan? Aku udah gila? Ya, ya pasti kayak gitu." Rahel meyakinkan diri sendiri dengan mengangguk-anggukan kepala semangat. Yah, dia bahkan tidak mengerti apa yang dia lakukan disini sekarang.
Wikan tertawa. Dia mengubah posisinya menjadi menyamping untuk menatap Rahel.
"Kamu mulai sayang kali."
Rahel memutar bola mata sebal. "Kalo ada hal terakhir yang harus dilakuin, plis jangan goda aku. aku lakuin semua ini karena sisi kemanusiaan aku terusik!"ucapnya merasa tak terima.
"Ngaco..."
"Iya bayangin, ada anak yang sakit 38 sekian demam, nggak ada orang tua, nggak ada yang nemenin, yang ngurus, makan makanan cepat saji." Rahel menghela nafas menghentikan kalimat lalu menggedikkan bahu. "Gimana nggak miris."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Teen FictionRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...