"Hmm, apaan nih?" Wikan memaju-mundurkan buku di depan mata. "Kamu sengaja nulis cepet-cepet biar dapet duit banyak ya?"
Wikan memandang pada Rahel yang cuek mencatat dengan tulisan super rapi dan gambar ilustrasi di atas buku catatan Biologi miliknya. Melihat itu Wikan bertambah gemas. Gemas ingin mencubit-cubit pipi Rahel yang sedikit dagingnya.
"Gitu deh, lagi pula yang perlu kan Mama kamu, bukan kamu.." balas Rahel tak peduli. "Lagipula, aku nyatet duluan di buku kamu. Artinya aku memprioritaskan pelanggan."
Tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Rahel. Semenjak menerima tawaran dari Wikan, dia rela tidak istirahat demi menyalin catatan. Dia bisa keluar istirahat sekitar dua kali seminggu. Sebagai ganti dia meminta bantuan Mona dan Sonya untuk membelikan Rahel makanan yang bisa dimakan di kelas. Kedua sahabatnya itu tahu perihal 'kerja sampingan' yang dilakukan Rahel.
"Memprioritaskan? Tulisan kayak cacing gini?" Wikan masih tak terima, tulisan Rahel tak ada bedanya dengan resep tulisan dokter.
Rahel memang saat ini sedang berada di atas angin. Tadi, dia berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam menulis puisi. Bu Alin guru bahasa Indonesia mereka tak henti-hentinya memuji pilihan kata Rahel. Sedangkan Wikan yang agak anti dalam karang-mengarang justru mendapat nilai paling kecil. Bu Alin bilang puisi Wikan tidak berisi sama sekali.
Dan sekarang Rahel bisa bersikap agak angkuh.
"Iya, tenang kok. Isinya lengkap dan lebih natural. Kayak dicatat sendiri bukan ngupah orang." Singgung Rahel. "Emang Mama kamu nggak bakal tahu apa itu bukan tulisan kamu?"
"Tenang aja, dia nggak bakal tahu kok." Jawab Wikan. Nadanya berubah menjadi tak lemah. Matanya cenderung menatap lantai.
Rahel menangkap sesuatu dari gerak-gerik Wikan. Cowok itu tiba-tiba berubah diam. Tatapan Wikan berubah menjadi tak bersemangat. Rahel menebak, mungkin Wikan sedang memiliki masalah dengan sang Mama.
"Ehm, yaudah, pokoknya duit hari ini." Rahel mencoba mencairkan suasana. Dia sendiri tidak mengerti kenapa harus melakukan hal ini dan bukan membiarkan Wikan pergi saja.
"Ck, nggak bisa. Aku bayar lusa aja, sekalian satu minggu." Jawab Wikan kemudian pergi ke bangkunya sendiri.
Entah mengapa Rahel merasa tak enak dengan sikap Wikan. Seakan sikap cowok itu berubah karena kesalahan dirinya. Namun, Rahel tak terlalu banyak waktu untuk memikirkan hal itu. Dia merasakan panggilan alam datang, membuat Rahel bergegas pergi ke toilet yang tak jauh dari kelasnya. Kabarnya dari situlah dulu Wikan dapat kecoa untuk Rahel. Jika ingat hal itu, rasanya Rahel sangat membenci Wikan.
Rahel memasuki salah satu toilet dan menyelesaikan urusan di sana. Rahel keluar dari toilet menuju ke depan wastafel, sekalian membenahi pakaian dan rambut. Dia tak sadar bahwa ada cewek cantik di sebelahnya yang diam-diam melirik Rahel.
"Kak Rahel." Panggil cewek itu ramah.
Yang dipanggil menoleh, mata Rahel membesar melihat siapa yang ada di sebelahnya. "Eh, Lotta? Kok bisa disini?" tanya Rahel, tanpa bermaksud jelek. Gedung sekolah mereka terpisah di setiap tingkat kelas. Agak aneh jika melihat junior berada di toilet gedung kelas tiga.
"Aku barusan disuruh manggil Kakak kelas ke kantor. Jadi sekalian mampir ke toilet ini." jawab Lotta dengan memberikan senyum cantik. "Hmm, nggak ke kantin Kak?"
"Nggak soalnya lagi banyak tugas." Rahel membalas sembari mencuci tangan.
Sedangkan Lotta sedang memasang lip tint di bibirnya yang penuh. "Pantesan tadi Kak Pandu makan sendirian. Kan kasihan, jadi ku temenin aja." Katanya santai seakan hal itu bukanlah apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Teen FictionRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...