Page 6

1.9K 181 10
                                    

Wikan memarkirkan motornya ke dalam garasi. Saat masuk ke dalam rumah, Bi Minah menyambut Wikan dengan ramah. Menanyakan apa yang ingin dimasakkan untuk makan malam, menanyakan adakah yang dia perlukan saat ini, menanyakan bagaimana harinya. Dan Wikan menjawab semua pertanyaan itu dengan gelengan dan isyarat tangan. Bi Minah memberikan senyum ramah dan keibuan lalu meneriakkan bahwa dia akan mengantarkan camilan dan jus ke kamarnya lima belas menit lagi.

Yang dilakukan Wikan saat pertama kali sampai di kamar adalah melempar tas ke sembarang tempat, mengganti seragam dengan kaos dan celana pendek nyaman lalu merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Wikan tak pernah merasa seburuk ini sebelumnya. Seberat apapun hari yang dilewati, seberapa kesepian pun itu tak akan membuat Wikan merasa buruk.

Dia cemburu.

Wikan mengingat bagaimana Rahel tersenyum saat Pandu datang dan membawa Rahel pergi. Dan itu membuatnya kesal. Ingin rasanya Wikan menarik Rahel dan mengatakan pada Pandu bahwa Rahel adalah miliknya. Miliknya? Wikan mendengus miris. Dia sudah mengagumi Rahel semenjak gadis itu membantu Wikan saat diserempet motor di depan sekolah. Saat itu Rahel dengan sigap menolong Wikan dan melupakan bahwa dirinya sendiri sudah terlambat masuk sekolah. Wikan yakin saat itu Rahel tak sanggup mencapai gerbang, yakin saat itu Rahel menerima hukuman karena terlambat. Terlebih hari itu adalah hari senin. Hari yang paling horor untuk terlambat.

Semua itu membuat Wikan jatuh cinta pada Rahel. Dia tidak pernah mendapat perhatian begitu besar dari seseorang sebelumnya.

Sayangnya saat itu, Wikan memakai topi yang menutupi wajah sehingga Rahel tidak mengenalinya. Dan, setelah satu tahun berlalu, Wikan diberikan kesempatan untuk berada di satu kelas dengan Rahel. Yah, sebuah kesempatan yang dia ciptakan. Wikan tidak tahu jika Rahel suatu saat akan jatuh cinta dan memiliki pacar. Namun, Wikan tak pernah merasa kalah. Rahel memang sudah memiliki pacar, Wikan memang cemburu. Cemburu, itu yang membuatnya lemah.

***

Wikan terbangun karena panggilan Bi Minah yang membangunkannya agar dia bisa mandi dan makan malam. Setelah mandi, Wikan turun ke lantai bawah rumah, dan langsung menuju ke ruang makan dengan meja panjang bermuatan 10 orang. Wikan duduk di kursi paling ujung, dimana makanan sudah tersedia di sana. Kursi memang tersedia sepuluh buah, namun bukan berarti anggota keluarga Wikan sebanyak itu. Wikan adalah anak satu-satunya dari sepasang suami istri berduit. Ayahnya menteri dan ibunya presdir sebuah perusahaan besar. Meja makan ini biasa dipakai untuk mengundang tamu-tamu penting Ibu atau Ayahnya untuk makan malam.

Sudah jelas mereka sibuk. Wikan tak perlu repot-repot menunggu dua anggota keluarganya untuk makan malam. Sang Ibu jelas selalu pulang malam mengurus perusahaan, dan Ayahnya jarang di rumah karena sering kunjungan ke luar kota. Di rumah, Ibu Wikan tidak mempekerjakan banyak asisten rumah tangga. Hanya ada Bu Minah dan Mbok Iyem yang dipercayakan untuk mengurus Wikan. Satu tukang kebun dan sekuriti penjaga rumah yang tidak pernah masuk ke dalam. Jadi, rumah besar ini hanya dihuni Wikan dan Bi Minah berdua saja. Rumah yang selalu sepi kecuali saat Wikan makan atau menonton TV.

"Semur ayamnya enak, Bi." Puji Wikan yang sekedar berbasa basi dengan Bi Minah yang sedang membersihkan dapur sisa memasak.

Bi Minah tersenyum lembut. "Terima kasih, Den Wikan. Besok Den Wikan tinggal bilang mau makan apa untuk sarapan," tawar Bi Minah.

Wikan menggeleng. "Apa aja boleh. Pasti aku makan semuanya, kok."

Bukan Wikan tak pernah menawarkan Bi Minah untuk makan bersama di meja makan. Namun, wanita paruh baya itu selalu menolak dengan alasan tidak sopan. Dia lebih suka makan di kamar saja. Tapi, Wikan tahu, Bi Minah selalu dengan sengaja berada di dekat Wikan saat cowok itu makan. Entah itu membersihkan dapur, memasak sesuatu, atau mengupas sayuran. Semua itu dilakukan agar Wikan tidak merasa kesepian saat makan sendirian. Yah, Bi Minah lebih mengerti perasaan Wikan, meski tidak pernah menunjukkan semua itu secara langsung.

Rival in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang