"Hel, napa melamun aja?" tanya Mona ketika mereka berdua sedang berjalan menuju kelas. Tadi mereka kebetulan bertemu di depan gerbang saat baru saja sampai di sekolah. Mereka mampir sebentar di gerobak siomay sebelum akhirnya masuk melewati gerbang.
Sejak berjalan dari gerbang dan hampir sampai ke pintu kelas, Rahel terus saja memandang kosong ke ubin-ubin di lantai sekolah. Mona yang dari tadi mengoceh ini itu tentang masalah adiknya yang nakal saat di dalam mobil, dikacangi saja oleh cewek itu. Hingga akhirnya Mona menyadari bahwa ia hanya bicara sendiri.
"Hah?
Hmm, nggak apa-apa kok."
Rahel memasuki kelas bersama Mona. Jantungnya hampir copot ketika mendapati Wikan sudah duduk 'manis' di bangku – atau bisa disebut tidur. Semenjak kejadian di atas atap sekolah yang memalukan bagi Rahel itu. Entah kenapa setiap bertemu Wikan Rahel jadi agak takut-takut jika bertatap muka dengan cowok itu.
Sudah beberapa kali Rahel memikirkan ulang mengenai kejadian di atas atap sekolah itu. dan dia – dengan sangat terpaksa – menyimpulkan bahwa yang dilakukan Wikan adalah semata untuk membuat Rahel bingung. Mungkin Wikan pikir hatinya akan menjadi lebih lembut setelah diperlakukan seperti itu.
Tapi, meskipun Rahel telah memaksakan diri untuk berpikir demikian. Berjumpa dengan Wikan adalah salah satu hal yang sulit dia lakukan. Dia berharap Wikan menjahilinya terus saja. Dengan cara itu, Rahel bisa merasa lebih nyaman berada di sekitar Wikan. Yah, meski dengan rasa yang berbeda.
Rahel makin dekat ke tempat duduk.
"Sialan, apa Wikan dulu sengaja memilih tempat di belakang tempat duduknya," tanya Rahel dalam hatinya.
Cowok itu tanpa dinyana-nyana bangun dari tidur pagi dan tanpa sengaja menatap ke arah Rahel. Wikan melempar sebuah kedipan yang sukses membuat Rahel membelalakan mata, diikuti dengan melemparkan bungkusan siomay – yang belum dia buka – ke wajah Wikan.
"Adaw! Panas woi!" protes Wikan dengan tampang sungguh-sungguh tak terima. Untung saja siomay itu tidak pecah karena jarak lemparan yang tidak begitu jauh, dan Somay itu langsung dengan sigap ditangkap Wikan setelah sempat singgah di wajahnya sebentar. Jika pecah, Wikan tidak bisa membayangkan wajahnya akan dimasker dengan kuah siomay.
"Kamu juga, ngapain kedap kedip!" tukas Rahel sembari merebut bungkus siomay dari Wikan.
"Ye... orang kelilipan. Kamu aja yang geer." tukas Wikan. "Ati-ati makan siomaynya. Entar kacangnya nyangkut semua di behel kamu."
"Makasih perhatiannya!" balas Rahel ketus.
Benar. Rahel lebih senang kalau Wikan bersikap demikian.
Kelas dimulai dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka sudah mulai aktif belajar. Sudah mendapatkan banyak tugas dan pekerjaan rumah. Intensitas kedatangan guru hampir 100 persen. Tak jarang guru selalu mengingatkan mereka bahwa sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian nasional. Malas-malasan atau rajin belajar, ujung-ujungnya mereka akan tetap menghadapi ujian nasional yang menjadi momok bagi mereka. Padahal, ujian nasional bukanlah penentu kelulusan lagi.
Rahel memang memikirkan masalah ujian. Dia masih mengincar nilai setinggi-tingginya agar bisa mengajukan beasiswa ke universitas ternama. Hal itu masih bisa dia atasi dengan belajar yang rajin setiap sebelum solat subuh. Masalahnya ada hal lain, yang menjadi masalah pribadi baginya. Naik ke kelas tiga artinya lebih banyak uang yang harus dikeluarkan untuk beberapa hal 'tambahan' yang tidak wajib tapi tetap diperlukan.
Semalam Rahel sudah menanyai Andro mengenai biaya-biaya mendadak yang mungkin ada. Andro bilang, dulu kakaknya yang pernah bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka. Anak-anak kelas tiga biasanya mengadakan perjalanan liburan bersama-sama sebelum menghadapi semester selanjutnya. Mereka tidak akan menghabiskan seluruh sisa semester dengan belajar sesuai kurikulum karena guru menyisakan waktu satu bulan untuk bimbingan belajar yang diadakan sekolah. Kemungkinan buku yang digunakan tidaklah gratis. Selain itu masih ada acara prom dan perpisahan yang membutuhkan biaya, baik untuk acara dan pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Roman pour AdolescentsRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...