Page 32

317 31 10
                                    

In a minute or two, the Caterpillar got down off the mushroom and crawled away into the grass, merely remarking, as it went, "One side will make you grow taller, and the other side will make you grow shorter."


"One side of what? The other side of what?" thought Alice to herself.


Rahel menyelesaikan potongan paragraf dari novel Alice in Wonderland yang di perintahkan oleh guru. Berikutnya, terdengar guru memberikan penjelasan mengenai paragraf itu sembari menuliskan beberapa hal di papan tulis. Rahel mendengarkan penjelasan hanya setengah-setengah, suara itu terdengar samar-samar masuk ke telinga. Ia tahu ini salah tapi, Rahel tidak bisa berkonsentrasi.


Jujur saja Rahel tak pernah merasakan hal yang seperti ini. Sejenis dendam yang tidak buruk, tapi akan terus teringat sampai semua terjawab, sampai semua terselesaikan secara tepat. Bukan, bukan membalas dendam yang Rahel ingin. Sesuatu yang lebih mirip ke penjelasan. Dirinya di ambang galau. Dan Rahel pikir ini bukan jatuh cinta (Rahel memaksa berpikir demikian), karena dulu saat dengan Pandu, ia tak pernah kehilangan konsentrasi. Rahel hanya merasakan senang, ia akan senang bertemu dengan Pandu. Tapi, saat belajar Rahel akan melupakan semuanya dan memikirkan belajar saja. Alasan Rahel menganggap ini dendam adalah karena Rahel tidak pernah merasa dendam sebelumnya. Mungkin saja ia dendam karena cowok itu terus saja mempermainkannya.


Rahel menoleh ke arah jendela. Di luar hujan deras. Hujan menyimpan banyak kenangan ia bersama Wikan. Saat di gudang, maupun saat di hutan. Jantungnya seakan berlomba berdetak, Wikan, hanya Rahel yang tahu sisi lain cowok itu. Dan Rahel menginginkan setiap saat sisi itu, dan tidak ingin orang lain bisa melihatnya. tapi disaat yangs ama, Rahel takut jika kembali melihat sisi itu. Rahel akan terjebak makin dalam pada sebuah perasaan yang tidak mungkin akan ia hindari lagi.


Kali ini suara Wikan terdengar membacakan sebuah paragraf.



***


"Eh, nanti jadi nggak ngerjain makalah di rumah Wikan?" tanya Mona pada Rahel.


Saat ini, mereka bertiga sedang bekerja kelompok pada latihan soal bahasa Indonesia yang diberikan guru piket.


Rahel mengangguk, "Jadi-jadi aja kayaknya. Kalian bawa kan bahan yang kalian cari?" tanya Rahel yang mengalihkan sejenak pandangannya dari buku latihan ke Mona dan Wikan.


"Bawa dong!" Mona menunjukkan jempolnya dengan senyum yang sangat lebar.


Mereka dilingkupi kesunyian dalam beberapa menit, namun Sonya hendak menanyakan sesuatu yang menyangkal. "Ehm, apa sebaiknya nggak kita cancel aja hari ini?"


"Lho kenapa?" Rahel menaikkan alisnya bertanya-tanya. Jelas saja ia tak setuju dengan pembatalan belajar kelompok. Sekali pertemuan saja belum cukup untuk menyelesaikan tugas. Jika harus ditunda, bisa-bisa nanti pekerjaan mereka tidak akan maksimal. Dan itu artinya, tidak ada nilai bagus juga.


Sonya melirik ke arah belakang, pada seseorang kelihatannya. Lalu dengan ragu ia berkata, "Kamu nggak nonton berita?"


Rahel menggeleng, Mona pun demikian. Mereka memperhatikan Sonya dengan wajah serius.


"Siang ini Pak Admiraharja, bapaknya Wikan sidang vonus. Mungkin dia mau dateng."


"Beneran?!" Mona berseru.


"Iya, beneran. Pasti sekarang dia lagi mikirin itu deh," Sonya mengangguk, lalu memandang Rahel, "Kamu tanya sama dia dong Hel. Kamu 'kan deket sama dia?"


"Iya..." jawab Rahel. Entah mengapa, Rahel tiba-tiba merasa tidak nyaman di dalam hatinya. Diam-diam dia melirik Wikan yang seperti biasa, tidak mau berkelompok di saat seperti ini. Dan ya, ada yang berbeda dari wajah cowok itu.

Rival in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang