"Kamu mau bicara apa?"
Wikan tak menjawab langsung. Ia memilih untuk duduk di atas sofa usang yang sengaja di letakkan di balkon untuk duduk-duduk santai. Ditariknya lengan Rahel halus agar gadis itu duduk di sebelahnya.
Rahel menunggu selama beberapa detik, namun Wikan tak juga menjawab. Pandangan cowok itu menerawang kosong ke arah taman belakang yang kosong.
"Wikan..."
"Kamu tahu gimana pentingnya sosok seorang Ayah bagi anak cowok?"
Pertanyaan itu membuat Rahel berhenti berucap. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. Dan yang bisa dia lakukan adalah menjadi pendengar yang baik. Tidak mengacuhkan tapi tidak juga menggurui. Dari awal Rahel sudah menebak bagaimana suasana hati Wikan hanya dengan memandang wajahnya.
Lalu Wikan mulai bercerita dengan tenang. "Ayah itu harusnya jadi panutan. Kalau Ayahnya cukuran, anaknya ikut cukuran. Kalau Ayahnya lagi nyuci mobil, anaknya ikut nyuci mainan mobilnya. Ada anak yang bangga sama profesi Ayahnya, baik dokter, pemadam kebakaran, komposer atau bahkan cuma pedagang biasa." ia menghentikan ucapannya lalu tertawa mendesis, "Tapi aku, dibagian mana aku bisa bangga sama Papa. Semenjak Papa ditangkap, aku belum pernah ketemu lagi dengan Papa."
Wikan berhenti sejenak. Terlihat mengingat-ingat sesuatu. Atau justru menahan sesuatu yang tidak kuat ingin meledak di dalam dadanya. Wikan mengepal tangan erat hingga buku-buku jemarinya memutih.
"Apa ada alasan aku buat datang ke sidang dan denger hakim membenarkan semua tindakan busuk dia dan menghukum dia bertahun-tahun, dimiskinkan mungkin, dan ada juga hukuman moral. Bukan Papa yang kena, tapi aku, Mama," Wikan bercerita dengan nada bergetar, kepalanya menunduk. ia lebih suka memandang pahanya yang terbalut jeans berwarna biru tua. "Apa salah kami sampai harus kena cipratan lumpur saat Papa yang mengendarai mobil. Dia pergi jauh tenang di penjara sementara aku dan Mama kena getahnya. Kadang aku pikir aku bisa ngerti kenapa Mama mau cerai dari Papa."
Rahel berinisiatif untuk menyentuh tangan Wikan yang terkepal. Wikan terlihat kaget, terkesan ketakutan, ia menoleh mempertontonkan wajah sendunya pada Rahel. Tangan yang tadi mengepal mulai mengendur. Tangan Wikan yang besar berbalik meraih tangan Rahel lalu digenggamnya.
Wikan tersenyum pahit. "Tapi kenyataan itu juga bikin aku sadar. Bahwa mereka sudah nggak saling cinta. Semua sudah nggak sama. Aku kangen waktu Mama masih masak di rumah, atau Papa yang inget ulang tahunku dan ngasih aku hadiah motor saat aku dapet SIM." Wikan menggedikkan bahu. "Aku masih terjebak di antara kenangan itu. Aneh kan? Padahal aku sudah besar. Sudah ngerti semua hal yang kayak gini..."
"Kamu nggak aneh...," Rahel menanggapi. Wikan menatap masih ke arahnya, "itu emosi yang wajar karena kamu sayang sama mereka. Aku nggak bermaksud buat mencuri kesedihan kamu, tapi aku... udah nggak punya Ayah lagi. Aku tahu gimana pentingnya peran Papa. Tapi, adik bungsuku nggak pernah tahu. Aku cuma mau bilang... kalo kamu beruntung pernah merasakan semua itu."
Wikan mengangguk, meski pun tidak langsung berterima kasih. Rahel tahu bahwa cowok itu merasa demikian lewat tatapan matanya, lewat bibirnya yang mengkerut, lewat genggaman tangan yang rileks dan hangat.
"Mungkin nggak sekarang, tapi nanti kalo kamu udah siap. Kamu harus kunjungi Papa kamu," ucap Rahel.
Mereka lalu terjebak lagi dalam kesunyian. Hari makin petang, langit mulai berubah jingga. Burung-burung gereja mulai kembali ke sarang.
"Wikan...," panggil Rahel halus. "Kamu udah lega belom?"
"Kamu pikir aku lagi boker?" jawab Wikan acuh tak acuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Teen FictionRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...