"Iya, kita pacaran Bu..." jawab Wikan dengan senyum yang lumayan hiperbolis. "Sebenernya, kita lagi berantem."
Rahel membelalakan matanya, lalu mengayunkan tangan ke udara tanda tak membenarkan. "Ih, apaan sih?!" geram Rahel berusaha meredam suaranya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Wikan terkekeh melihat reaksi luar biasa yang ditunjukkan Rahel. "Ck, udahlah, jangan malu Sayang. Maklum Bu, dia ini marah karena saya lebih pinter dari dia."
"Hah? Ngimpi!" desis Rahel.
Namun, Wikan tak mempedulikan tatapan Rahel yang mungkin saja mampu menembus dinding beton itu. "Iya, iya, aku bakal ngalah kok. Kamu boleh jawab semua soal dari guru." Wikan tersenyum manis menggoda, berbeda dengan senyum miring yang biasa dia tunjukkan.
"Wikan!" Rahel mencubit perut cowok itu diam-diam.
"Ouch! Kamu kenapa pake cubit-cubit segala?"
Rahel mendengus, "Jangan ngomong sembarangan! Bu Yani nanti ngira serius!"
"Emang nggak?" tanya Wikan dengan tampang sok polos.
Baru saja Rahel akan berbicara pada Bu Yani, guru fisika itu sudah memotong duluan sembari geleng-geleng kepala. Dia bingung dengan kelakuan dua anak didiknya. "Sudah, sudah, pacaran boleh, tapi masalah belajar harus tetap ditekuni. Tidak boleh curang. Sebaliknya harus saling mendukung."
"Nah itu, saya setuju itu Bu!" Wikan menjentik jari setuju.
"Bu, sumpah! Kita nggak pacaran kok!" Rahel setengah berteriak pada Bu Yani yang sudah bersiap-siap pergi dari tempat duduk.
Hanya mengangguk-angguk, Bu Yani menjawab. "Ya, ya, ibu percaya. Sudah, kalian boleh keluar. Ibu mau makan dulu." Katanya sambil lalu kemudian berjalan menuju teman sejawat yang sudah duluan makan tanpa dirinya.
"Kelihatannya nggak gitu deh..." gumam Rahel kecewa.
***
"Kamu tuh ya, kamu tuh ya..."
"Kamu tuh apa?"
Wikan bertanya dengan nada cuek, seakan tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Rahel berhenti berjalan, Wikan mengikutinya lalu menatap Rahel dengan sebelah alis terangkat dan tangan yang bertolak pinggang.
"Kamu maunya apa, sih? Apa maksud kamu bilang ke Bu Yani kalo kita paca..." Rahel memandang ke sekitar koridor yang cukup ramai oleh murid-murid yang agaknya perhatian kenapa dia bisa berdua dengan Wikan, "...pacaran!" gumamnya dengan merapatkan giginya.
"Memangnya nggak?" lagi-lagi Wikan melontarkan kalimat tanya yang sama.
"What?" Rahel memekik. Dan itu sukses membuat beberapa murid yang lewat menoleh sejenak pada Rahel. Gadis itu berdeham.
Wikan terkekeh, "kamu harusnya terima kasih sama aku. Kalo nggak gitu pasti Bu Yani nggak akan lupa kasih kita hukuman. Memang kamu mau disuruh bersihin kamar kecil?"
"Oh, gitu ya? Terima kasih! Aku masih mampu kok bersihin kakus!" Rahel geram. Meskipun dalam hati sebenarnya dia bersyukur tidak mendapatkan hukuman tersebut. Dia tahu Bu Yani biasanya terkenal dengan hukuman yang savage dan bikin malu. Tapi harga diri Rahel terlalu tinggi untuk mengucapkan terima kasih, apalagi setelah Wikan bicara seenaknya seperti tadi.
"Ya udah sori, kamu menghadap Bu Yani lagi aja, terus bilang kita nggak pacaran..." jawab Wikan santai, seakan hal itu bukan hal yang sulit. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sedangkan mulutnya meniup-niup poni iseng.
"Kamu pikir itu mungkin? Dateng ke Bu Yani terus bilang, 'aku sama wikan nggak pacaran', terus... terus apa?"
Mengangkat kedua tangan tanda tak punya ide, Wikan menjawab, "Ya udah artinya kita pacaran,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Teen FictionRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...