"Kak Rahel, bangun..."
Rahel membuka mata mendengar panggilan Mirha dari balik pintu. Ah, dia kesiangan hari ini. Biasanya dia terbangun saat subuh untuk belajar. Lalu membantu Rani membuat sarapan, sementara Rani menyiapkan jualan. Akhir-akhir ini, Rahel tidur lebih malam daripada biasa. Karena harus membuat catatan tambahan untuk Wikan, namun dia tetap harus belajar dan membantu Rani berjualan.
"Iya Mir!" jawab Rahel, dia mengucek mata kemudian membuka tirai. Kemudian bersiap untuk mandi.
"Hel, Rahel..." panggilan itu terdengar ketika Rahel duduk di meja untuk sarapan. Rahel membuka mata dan mendapati sang Ibu menatap dengan tatapan cemas. "Kamu begadang ya Nak?"
Rahel menggeleng, dia hampir ketiduran di saat sarapan. Terlalu pagi untuk merasa kantuk yang berat.
"Nggak kok Ma. Cuma agak capek aja..." jawab Rahel simpel, dengan mengabaikan tatapan cemas Rani. Rahel mulai menyuap nasi goreng sederhana yang dimasak Rani. "Enak, Ma." Pujinya.
***
Untungnya jam pelajaran pertama adalah pelajaran olahraga. Mungkin dengan banyak bergerak, Rahel bisa menyadarkan diri dan menghilangkan rasa kantuk. Meski pun bukan salah satu dari mata pelajaran yang dikuasai Rahel, dia menantikan untuk bisa pemanasan keliling lapangan.
"Semoga hari ini basket!" teriak Mona yang memang selalu kelebihan energi, terutama di saat pelajaran olahraga seperti sekarang.
"Kayaknya kita bakal ambil nilai lompat jauh deh... Aku tanya sama anak kelas sebelah." balas Sonya yang dengan santai telah meluluhlantahkan khayalan Mona. "Hel, kok diem aja sih?"
"Ehm, nggak apa-apa. Aku ngantuk banget. Nggak tahan pengen lari-larian." Rahel menjawab, mereka sudah berganti pakaian menjadi pakaian olahraga. Mereka tinggal menunggu Pak Adam masuk dan menjelaskan materi selama limabelas menit dan langsung kelapangan.
"Kok kamu pucet gitu? Istirahat aja deh kalo nggak enak badan." Sonya terlihat khawatir, namun Rahel menggeleng sambil tersenyum. "Don't worry, aku cuma kurang olahraga."
Pak Adam masuk setelah lima menit kemudian. Sesuai dengan tebakan Sonya, pelajaran kali ini ternyata lompat jauh. Pak Adam menjelaskan materi secara singkat dan padat kemudian langsung meminta anak-anak sekelas untuk mengikutinya ke lapangan sekolah. Letaknya ada di depan kantor guru, tepat di sebelah lapangan basket ada bak dangkal yang berisi pasir. Pak Adam kemudian mempraktikkan bagaimana cara melompat yang diperhatikan oleh anak-anak kelas XII IPA 3.
Rahel merasa agak pusing, matanya makin berat. Seseorang menarik bahunya sampai-sampai Rahel hampir kehilangan keseimbangan. Dia perlu mendongak untuk melihat wajah itu, Wikan sedang mengerutkan kening menatap wajahnya. Cowok itu menekankan dua ujung jari tengah dan telunjuknya ke kening Rahel. Gerakan seperti menoyor kepala meski pun bukan, walau kepala Rahel agak miring karena dorongan Wikan yang berlebihan. Wikan membiarkan jari-jarinya disana beberapa saat. Wajahnya terlihat berpikir.
Tersadar akan tingkah laku Wikan membuat Rahel mendorong tangan Wikan dari keningnya. "Ngapain kamu?"
"Nggak demam, tapi kok kamu pucat?" tanya Wikan, yang barusan merasakan suhu tubuh Rahel yang sepertinya normal-normal saja.
"Ayo baris!" perintah Pak Adam yang langsung memisahkan Wikan dengan Rahel. Tidak sulit bagi mereka untuk berbaris karena mereka selalu melakukan hal ini setiap pelajaran olahraga. "Mulai pemanasan keliling lapangan lima kali. Mulai dari barisan pria!" perintah Pak Adam, "mulai yang wanita!"
Suara kaki yang menapak mulai terdengar berbenturan dengan lantai lapangan basket yang keras. Satu keliling sudah mereka lewati, bukannya merasa terbangun dan bersemangat, Rahel malah merasa kepalanya semakin pusing dan berputar-putar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival in Love
Teen FictionRahel Davinia adalah murid SMA yang terkenal pintar karena berhasil mendapat juara umum sekolah 4 kali berturut-turut. Meski pun begitu Rahel tak pernah merasa sombong. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Wikan Admiraharja si juara olimpiade sains, y...