17 | Menghindar

7 3 0
                                    

Shadows Bar.

Sudah lama bagi seorang cowok bernama Lano untuk tidak berkunjung ke tempat ini. Seingatnya, pertama dan terakhir dia pergi ke sini untuk menyelamatkan adik kembarnya itu.

Seorang pelayan wanita dengan pakaian minim menghampiri Lano. "Tuan Lano ya?" Lano menoleh dan mengangguk kecil. "Tuan sudah ditunggu di private room." Lano melihat perempuan itu dengan seksama. Dia langsung menggelengkan kepala begitu sadar dari lamunannya berusaha menghilangkan pikiran kotor itu dan berjalan mengikuti sang pelayan.

Dia berjalan menaiki lantai dua. Kemudian dia masuk ke dalam suatu ruangan, lelaki yang menelponnya tersenyum dibalik kacamata hitamnya. Tampilannya cukup menyeramkan walaupun postur tubuhnya seperti Lano.

"Devano Bintang ya?" Lano menyapa orang tersebut sekaligus memastikan orang itu orang yang sama yang kemarin menelponnya. Dia mengangguk. Lano duduk di berlawanan dia. Dia memanggil pelayan lalu pelayan itu menuju meja mereka. "Pesankan 2 botol Anggur untuk kami."

Lano menyela, "Hmm... saya nggak biasa minum seperti itu. Saya pesan soda saja."

Cowok di depan Lano tertawa singkat, "Lo nggak pernah minum, No? Disini tidak etis kalau minum soda, Brother!" katanya pada Lano. Lano hanya memutar bola mata. "Baik Nona cantik," Vano mengedipkan sebelah matanya kepada pelayan sehingga pelayan tersebut bersemu merah. "Kami pesan dua botol Wine saja. Terima kasih."

Begitu pelayan itu pergi, Lano berdeham, "Jadi jelaskan semuanya. Ada apa Anda mengaku sebagai kembaran saya? Memang saya punya kembaran? Dan lain kali ajak Saya bertemu di tempat yang lebih terang," ujar Lano seformal mungkin.

"Hai, saudaraku! Tidak usah seformal itulah," orang itu tertawa, "Lo nggak pernah ke tempat kayak gini? Pantas tidak pernah minum alkohol. Tenang saja wine yang gue pesan kandungan alkoholnya rendah." Dia menyandarkan tubuhnya ke sofa, "Pertama dan terakhir lo kesini itu pas sok-sokan jadi pahlawan dengan menyelamatkan kembaran lo kan?"

Orang yang mengaku Vano itu melepas kacamata hitam yang tadi dia pakai serta jaket yang berwarna hitam juga. "Jadi bagaimana? Rindukah dengan wajah ini?" dia menyeringai.

Wajah itu..." Sialan, bagaimana kamu mempunyai wajah seperti itu?!"

"Itu wajah asliku, Kakak. Dimana wajah aslimu? Lo enggak kangen gue?" dia tersenyum miring.

"Vano, lo masih hidup?" tanya Lano pelan.

"Kalau gue mati gue nggak akan ngajak lo ketemu disini, Bintang?" lagi-lagi dia tersenyum miring. Senyuman dengan seribu arti.

"Jangan panggil gue dengan sebutan itu. Sebutan itu cuman buat lo!"

"Dulu bukannya lo yang malah nangis pas gue minta kita tukeran nama?" ejek Vano sambil tertawa. Berusaha mengingat kejadian lampau itu.

"Jangan dibahas. Jadi lo mau apa?"

"Gue nggak mau apa-apa. Yang ada elo butuh gue. Missing Princess Vanilla, Lano?" tanya Vano. Lano mengkerutkan keningnya. Vano melanjutkan kalimatnya, "Gue tahu dimana Vanilla berada... karena yang bantu dia lari waktu itu adalah gue."

Lano berdiri dan menggebrak meja. Kemudian dia menarik kerah baju Vano, "SIALAN! Dimana Vanilla? Enggak gue biarkan lo hidup kalau Vanilla kenapa-kenapa," desis Lano mengancam.

Bintang tertawa, dia menjauhkan tangan Lano dari bajunya, "Santai, Bro! Vanilla yang mau dirinya tidak ditemukan, terutama lo," Vano mengacungkan telunjuk di dada Lano. "Pada kenyataannya, lo selalu kalah dari gue. Lo selalu menyia-nyiakan apa yang hampir lo dapat. Shani sayang sama lo, dia mau jawab pada malam itu, tetapi lo malah ngomong kayak gitu. Brengsek!"

A & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang