7 | Gilang

14 3 3
                                    

Mentari menyambut pagi hari yang cerah ini dengan angin semilir yang menyejukan badan. Sang angin dengan riang menerbangkan beberapa helai rambut cewek itu yang tidak tertutupi oleh helm. Kedua tangannya memeluk sang cowok untuk berpegangan dengan erat. Sedangkan sang cowok dengan konsentrasi penuh mengemudikan motor kesayangannya itu dengan gesit menyelip beberapa mobil dalam jalan yang penuh dengan kemacetan. Butuh 30 menit bagi mereka untuk sampai di gerbang sekolah yang sudah dikunci oleh satpam sekolah mereka. Yudhistira Senior High School.

"Kita masuk lewat mana nih?" tanya sang cewek dengan gelisah. Untuk pertamakali di bangku kelas 12. Pada saat kelas 10 dan 11 mungkin hal biasa baginya untuk terlambat tapi tidak di tahun terakhirnya di sekolah ini. Dia tidak munafik. Dia ingin meninggalkan sekolah ini dengan kesan yang baik bukan kesan sebagai murid yang sering terlambat.

"Biasanya kita lewat mana, Sayang?" tanya cowok itu dengan nada menggoda. Dia menaik-turunkan alisnya serta menatap cewek itu dengan jahil.

Cewek itu melototkan matanya, "Gila aja lu, Lang. Ini tahun terakhir sekolah kita."

"Ya terus masalahnya apa?"

Cewek itu menghela napas berat, "Gue mau ninggalin nih sekolah dengan baik, Darling," balasnya dengan amat sangat lembut.

"Ya daripada ketangkap basah telat. Atau lo mau bolos?" Cowok itu tersenyum nakal.

Cewek itu langsung menggeleng, "Sudah mau UN, Tai. Jangan bolos."

"Banyak omong. Mau ikut nggak?" tawar cowok itu menatapnya serius. Merasa tidak mendapat jawaban, cowok itu berbalik, lalu pergi meninggalkan cewek-Vanilla-itu.

"Eh pantat penggorengan, tungguin!" sahut Vanilla mengejar Gilang. Mereka menuju ke pintu belakang sekolah. Memanjat pintu belakang sekolah yang sudah jarang dijaga guru semenjak Gilang dan Vanilla tidak pernah lagi terlambat. Vanilla mengangkat roknya sedikit lalu mulai memanjat. Untung saja dia pakai celana legging. Disusul Gilang yang melompat ke bawah saat dia sudah berada di atas pagar.

"Siapa itu?"

Suara orang yang paling sayang sama mereka. Pak Jefri, Si Duren-duda keren-yang memiliki dendam kesumat dengan Gilang dan Vanilla akibat kejahilan mereka disaat kelas 11 yang tidak pernah absen untuk menganggu guru itu. Dari iseng ngasih garam di teh Pak Jefri, melempar laba-laba ke bajunya, sampai yang lebih parah menempelkan permen karet di kursinya sehingga celananya meninggalkan noda yang tak akan hilang karena Gilang kerap melihat satu stel celana di bagian belakang masih terdapat noda lengket.

Kenapa pihak sekolah tidak mengeluarkan mereka?

Pertanyaan yang bagus.

Gilang dan Vanilla kan aset sekolah. Mereka sering menyumbangkan beberapa piala untuk sekolah. Belum lagi piala dari tim basket yang diketuai mereka berdua. Olimpiade saja sudah sampai luar negeri. Orangtua mereka juga merupakan penyumbang dana terbanyak untuk yayasan.

Kembali ke laptop...

Vanilla dan Gilang langsung terbirit-birit lari saling berpegangan. Mereka menyusuri koridor lantai dasar sekolah. Murid yang lain yang sedang mendengarnya amanat dari pembina upacara sontak menatap mereka apalagi diikuti Pak Jefri si kumis tebal yang mengejar mereka.

"Eh, kalian ... tungguin dong. Bapak capek nih udah tua. Bantuin Bapak berdiri," pinta Pak Jefri dengan suara melemas lalu duduk di kursi panjang.

Mereka menghampiri Pak Jefri dengan memegang pundaknya, "Pak, asmanya nggak kambuh kan? Jangan tinggalin saya dulu Pak, saya masih banyak salah sama Bapak," ucap Gilang dengan ekspresi merasa bersalahnya.

"Benar, Pak. Bapak kan belum datang ke gala premier  film terbaru kita Pak," timpal Vanilla.

Pak Jefri berdiri dan menjewer telinga Gilang dan Vanilla sehingga mereka meringis, "Apa-apaan kalian ini. Macam-macam sama saya. Ayo ikut Bapak ke kantor!" Diseretnya Gilang dan Vanilla ke ruang guru. Gelak tawa dari peserta upacara terdengar begitu melihat tingkah laku mereka. Sudah lama sekali primadona dan cassanova sekolah mereka tidak membuat tingkah konyol yang menghibur warga sekolah ini. Dan upacara kembali dilanjutkan begitu sang pembina upacara menginterupsi percakapan mereka bersamaan dengan berakhirnya amanat pembina upacara.

A & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang