E k s t r a P a r t

76 5 0
                                    


Sisi Lain Devano

***

Gue Devano Bintang Pradipta. Sedikit menyesal kenapa gue terlahir dengan memiliki seorang kembaran yang menurut gue freak sekaligus cupu abis, yaitu si Dellano cowok berkacamata bulat waktu itu. Dari dulu orangtua gue selalu menganggap Lano itu sebagai anak emas mereka. Padahal gue sama dia kayaknya sama-sama pintar. Bedanya Lano pintar akademik sedangkan gue pintar non-akademik. Basket selalu menjadi andalan gue.

Dari kecil, gue selalu menyukai permainan bola. Dulu gue cuman bisa main bola kaki bareng Ayah. Waktu kecil Ayah sering mengajak gue untuk main bola. Tapi semua itu berubah ketika krisis perusahaan keluarga. Ayah jadi gila kerja, begitupun Bunda sebagai sekretarisnya. Kita cuman tinggal sama pengasuh kami yang sekarang gue nggak tahu kabarnya gimana. Udah lupa juga namanya.

Gue sama Lano punya kakak perempuan. Namanya Queena tapi sering dipanggil Ratu. Katanya sih gara-gara namanya kebagusan kalau dipakai di Indonesia. Gue nggak terlalu dekat dengan Ratu karena gue juga jarang main sama dia. Dia ke Jakarta seminggu atau dua minggu sekali karena dia sekolah di Bogor dan tinggal dengan Eyang gue.

Mungkin yang orangtua gue tahu gue melakukan hal negatif sama teman-teman kayak ngerokok segala macam. Padahal mah kita main basket, main kartu, lalu belajar bareng dengan gue yang kadang sebagai mentor mereka. Tapi kadang kita belajar sama Bang Jack, salah satu Abang dari teman gue yang terpaut usia sepuluh tahun dengan gue dan teman-teman.

Lalu gue ingat saat hari pertama Masa Orientasi Sekolah di bangku SMP, badan gue sempat bertubrukan dengan seorang cewek cantik berbehel yang terpasang di gigi kelincinya dengan rambut panjang nan tebal yang terurai dengan indah. Semua barang yang dia gunakan serba hitam; tas, jam, bandana, dan sepatu.

"Loh? Bintang?" Gue terkejut ketika dia manggil gue dengan nama kembaran gue itu. Sebegitu miripkah gue sama si cupu? Oh my god tapi gue yakin banget btw kalau di depan gue ini bidadari yang turun dari langit ketujuh yang ditakdirkan untuk melengkapi tulang rusuk gue.

Gapapa kan ya bocah SMP kayak gue waktu itu ngomong sedewasa itu?

"Bintang kan? Hai! Ini aku Shani yang dulu pernah kamu tolong saat hujan turun di halte." Si cewek yang baru gue tahu namanya Shani itu tersenyum sangat manis dengan tangan memegang erat kedua tali tas ranselnya itu.

Gue yakin kalau yang dia temui di halte itu ya pasti si cupu. Tapi hebat juga si cupu bisa kenal cecan rasa bidadari kayak gini. Gapapa lah ngaku jadi Bintang biar dekat sama nih cewek. "Iya, aku Bintang. Salam kenal. Aku lupa bahwa kita pernah bertemu, but it's okay," kata gue waktu itu dengan ekspresi datar menutupi rasa canggung yang ada lantas gue dan dia jalan beriringan di koridor sekolah.

Semua warga sekolah ngelihatin gue dan Shani. Mungkin gara-gara kami mirip pangeran dan sang putri yang berjalan di tengah red carpet.

Beruntungnya waktu kelas tujuh gue sekelas sama doi. Pas dia tahu gue sekelas sama dia, dia mohon-mohon supaya gue mau duduk sama dia nggak salah alasannya dulu yang dia bilang karena nggak ada yang dia kenal kecuali gue.

Waktu jam istirahat, gue nyamperin si cupu ke kelasnya di 71. Gue ajak dia masuk ke toilet laki-laki yang letaknya nggak jauh dari kelasnya. Gue ancam si cupu supaya ngaku ke Shani kalau yang dia temui itu gue, bukan si cupu. Si cupu nan bodoh itu cuman anggukin kepalanya doang.

Nurut banget emang kayak anjing tetangga.

Makin kesini, gue sama Shani semakin dekat. Sering terlibat tugas di kelompok yang sama. Sering chat, jalan, nonton, dan pulang bareng. Bahkan dia sering nyemangatin gue di tribun sewaktu gue lagi tanding basket.

A & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang