18 | Garis Waktu

10 3 0
                                    

"Vano, Apa-apaan nilai rapot kamu ada yang merah!" teriak sang Bunda kepada Vano sambil melempar buku rapot cowok itu yang tergores tinta merah pada beberapa pelajaran akademik. Untuk pertama kali ia melihat kemarahan sang bunda sebegini besar.

Vano pun diam. Di samping cowok itu berdiri saudara kembarnya—Bintang—yang hanya termenung melihat pertengkaran yang selalu terjadi setelah mengambil rapot.

"Maaf, Bunda. Tapi nilai olahraga aku 95, Bun," ujarnya dengan bergetar. Tak tega hati dia menyakiti hati Bundanya walau wanita itu selalu meremehkannya.

Wanita itu kembali berkata dengan marah, "Olahraga itu nggak ada apa-apanya. Mama mau kamu jadi dokter. Atlet zaman sekarang gajinya nggak tentu. Kamu dengar omongan Bunda kan?"

"Iya, Bun." Vano menjawab dengan nada lirih.

"Dari kecil nilai akademik kamu jelek. Sekali-kali kamu contoh Bintang. Nilainya selalu diatas rata-rata. Sikapnya baik. Sedangkan kamu?" Bundanya kembali berceloteh, memuji Vano. Bunda masih sayang kepada Vano, tetapi wanita itu lebih menyayangi Vano. Apa salahnya dengan olahraga. Dengan nilai yang sangat bagus tidak diperhatikan sang bunda.

Dari dulu anak kesayangan orangtuanya hanyalah Bintang, Bintang, dan Bintang. Adakah sekali-kali mereka menyebut Vano? Kalau adapun mereka selalu membicarakan kejelekkan Vano. Tidak bisakah mereka melihat secuil kebaikan dalam diri cowok itu.

"Terserah kamulah. Bunda capek sama kamu, Van!" seru sang bunda kemudian wanita itu masuk ke dalam kamar disusul suaminya yang dari tadi melihat kekesalan ibu dari sepasang anak kembar itu.

Setelah orangtua mereka masuk, Vano memelototi Lano. "Puas lihat gue setiap semester dimarahin. Puas ambil rasa sayang Ayah sama Bunda? Sekarang saatnya lo rasain pedihnya kehilangan." tukasnya mengacungkan telunjuk pada cowok di hadapannya itu. "Gue bakal ambil perhatian Shani."

Vano melangkah menuju kamarnya lalu kembali berbalik melihat Lano yang masih berdiri di tempat semula. "Menyenangkan menjadi lo. Gara-gara lo gue bisa kenalan dengan Shani. Thanks udah mau bertukar peran dan gue nyaman dengan diri gue sekarang, sebagai Bintang di hadapan Shani. Tenang kok gue nggak akan jadi Bintang depan nyokap bokap." Vano tersenyum miris lalu dengan cepat menutup pintunya dengan keras.

🎬

Lano tiba di rumah itu. Rumah yang katanya tempat ternyaman untuk pulang termasuk Lano. Rumah itu yang selalu menjadi tempat cowok itu menenangkan diri walaupun hatinya menjerit tak kala melihat sang bunda terbaring di kasur sepanjang hari. Dan ironisnya, sang bunda tak mengenali Lano sama sekali. Hari ini cowok itu menggunakan motor sport kesayangannya untuk sampai disini.

Perawat itu tersenyum pada Lano yang mengunjungi kamar itu sebelum dia keluar dari kamar.

"Bunda, kenapa setiap aku kesini, Bunda selalu tidur?" lirih Lano. "Bun, aku sudah bertemu Vano. Dia masih hidup. Bunda jangan marah lagi ya sama Lano."

Tiba-tiba wanita itu bangun dari tidurnya. Saat melihat Lano dia langsung berteriak. Lano mencoba mendekat, wanita itu malahan mendorong Lano menjauh. Perawat dan Eyang yang baru datang berusaha menenangkan wanita yang dipanggil Bunda tersebut.

"PERGI KAMU! KAMU BUKAN ANAKKU. ANAKKU SUDAH MATI. BINTANG SUDAH MATI. PUAS KAMU!?" teriak wanita itu histeris. Tak lama kemudian, perawat menyuntikkan obat penenang. Bunda Lano perlahan tenang, "Kamu yang membunuh anakku, Vano. Kamu yang menghilangkan nyawa Bintang," lirihnya dengan suara semakin pelan sebelum dia kembali tidur.

Lano melihat wajah bundanya sekali lagi, sebelum keluar bersama Eyang dan meninggalkan bundanya dan perawat di kamar.

Eyangnya mengajak Lano ke halaman belakang. "Eyang sudah lama tidak ngobrol seperti ini dengan cucu Eyang. Kamu selalu pulang terburu-buru. Ngomong-ngomong apa kabar kakakmu?"

A & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang