Part 11

27 1 0
                                    

"Eun-yeul, apa alamat tempatnya?" tanya Man-sik.

Aku membuka ketikan alamat yang tersimpan di dalam ponselku dan membacanya. "Jungang-dong nomor 10," ucap aku.

Aku dan Man-sik berdiri di depan stasiun kereta api Busan. Kami menunggu taksi lewat. Beberapa taksi lewat, tetapi sedang ada penumpang di dalamnya.

"Taksi!" teriak Man-sik sekali lagi. Akhirnya, ada sebuah taksi yang berhenti di depan kami. Kami langsung membuka pintu belakang dan duduk di dalamnya.

"Kalian mau pergi kemana?" tanya supir taksi itu.

"Ahjussi, tolong antar kami ke jalan Jungang-dong nomor 10," ucap aku.

"Oke," jawab supir taksi itu.

Saat sopir taksi sedang berkutat dengan setirnya, kami mendengarkan radio yang dinyalakan oleh supir taksi yang mengaku menyukai lagu-lagu k-pop seperti kami. Siaran radio kali ini memutar lagu milik Beast yang berjudul I'm Sorry.

Lagu yang berkisah tentang penyesalan seorang pria yang ingin memutar kembali waktu membuatku tersentuh setiap kali aku mendengarkan lagu ini. Aku juga berpikir, apakah aku dapat memutar kembali waktu? Aku ingin sekali bahagia di masa laluku. Aku ingin bertemu dengan ayahku lebih awal, mencari pekerjaan paruh waktu lebih awal, mencari banyak teman lebih awal, dan beberapa hal kecil lainnya. Aku juga tidak ingin merasakan bagaimana sakitnya dibully oleh beberapa teman.

Flashback

SMA Swasta Jeon, tiga tahun yang lalu

Beginilah masa remajaku. Aku merasa diriku sangat beruntung. Sejak masuk ke sekolah dasar, aku menjadi penerima beasiswa paling banyak di sekolah yang merupakan milik Jeon group. Sekolah yang 95% muridnya berasal dari kalangan menengah keatas itu berlokasi di daerah Gangnam dimana pada daerah itu terletak rumah-rumah mewah.

Aku berada di kelas 2-3, kelas yang menurut banyak guru adalah kelas paling rusuh dan banyak masalah. Bukan hanya itu saja, tetapi beberapa murid yang menduduki peringkat 15 teratas satu angkatan kebanyakan berasal dari kelas 2-3.

"Jadi, karena kamu menduduki peringkat pertama lagi, kamu langsung merasa senang seperti itu? Sudah peringkat pertama dari 150 siswa, dijadikan ketua kelas, mendapat beasiswa pula!" ucap Rye-na kesal.

"Harusnya kamu meminjamkan tugasmu kepada teman-teman yang kesulitan!" ucap Sun-mi.

"Apakah kamu mau menjadi petugas kebersihan di toko milik keluargaku? Sepertinya kamu lebih pantas hidup bersama sapu dan tongkat pel. Hahaha..." ucap Rye-na.

"Rye-na, kenapa kamu selalu merendahkan orang lain yang derajatnya di bawahmu? Dulu, kamu juga pernah merendahkan Jae-bum kan? Kelakuanmu itu keanak-anakan! Karenamu, Jae-bum harus meninggalkan sekolah ini dan melepas beasiswanya. Kamu tahu, kelakuan burukmu itu mencerminkan bahwa keluargamu gagal mendidikmu dengan baik," ucapku.

"Apa katamu? Jadi, kamu mau menyalahkan kedua orang tuaku? Kamu ingin menyalahkan mereka dan menuduh kami sebagai penyebab Jae-bum dikeluarkan dari sekolah? Bukankah memang dia yang datang sendiri ke kelab untuk bergabung bersama kami? Kalau karena kemauan dia sendiri, ya bukan salahku," ucap Rye-na.

"Yang aku tahu, dia datang karena disuruh dan dipaksa. Kalian berjanji akan membantu keuangan keluarganya kan? Lalu, kalian yang menjebaknya kan? Sampai dia ditangkap polisi karena menghajar Sang-hoon," ucapku.

"Hah? Jadi, kamu bilang aku dan teman-teman yang salah?" tanya Rye-na.

"Itu salahmu mengadakan pesta ulang tahun sambil minum soju seperti itu! Kalau ada satu orang lagi yang terlibat masalah karenamu, aku akan melaporkan kepada guru Lee," ucapku.

A Letter from My FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang