Part 4

44 2 0
                                    

Sepuluh tahun kemudian

Aku menginjakan kakiku di salah satu universitas ternama di kota Seoul. Universitas Seoul adalah tempatku menuntut ilmu. Perjuanganku tidak sia-sia selama ini. Aku dapat membanggakan ibuku karena aku beruntung. Aku mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di universitas Seoul dan masuk ke jurusan yang aku inginkan. Semua ini berkat kerja kerasku selama di sekolah menengah atas.

Karena aku sangat bekerja keras demi mendapatkan beasiswa di universitas Seoul, aku sangat jarang menghabiskan waktu luang untuk pergi ke tempat karaoke, pergi ke mall, atau pergi makan-makan dengan teman-temanku. Aku lebih suka pergi ke perpustakaan untuk mencari ilmu baru, menonton televisi di rumah bersama dengan ibuku, atau menjelajah di dunia maya sebentar. Aku bukan tipe anak remaja yang suka pulang larut malam di akhir pekan seperti beberapa teman di kelasku. Ya, hal ini yang membuatku masih memiliki jumlah teman yang sedikit sampai aku lulus dari sekolah menengah atas.

Selain mendapatkan beasiswa untuk kuliah, hal lain yang patut aku banggakan adalah kesuksesan ibuku dalam membuka usaha barunya. Setelah kepindahan keluarga Jung-woo ke Amerika, Ibuku membuka usaha tteokbokki di dekat rumah kami. Berkat promosi dari ibu Jung-woo dari mulut ke mulut dan bantuan biaya yang jumlahnya tidak sedikit, banyak orang yang datang ke kedai milik ibuku dan mengatakan bahwa rasa masakan ibuku sangat enak. Pelanggan tidak pernah bosan untuk datang ke kedai kami dan ibuku sudah mempunyai beberapa pelanggan tetap. Sampai akhirnya kedai milik ibuku semakin berkembang dan sudah bertambah besar.

"Halo!" sapa seseorang yang berdiri di dekatku.

"Han Na-ra?" tanyaku.

"Iya, ini aku! Wah, sudah berapa tahun ya kita tidak bertemu? Sudah lama sekali sejak lulus dari sekolah dasar," ucap Na-ra. "Oiya, bagaimana bisa kau mengenalku dengan jelas?" tanya Na-ra.

"Wajahmu itu khas. Aku masih dapat mengenalimu. Kamu sedang apa disini?" tanyaku.

"Aku ingin menemui saudara tiriku. Dia kuliah di sini. Aku tidak kuliah disini, jadi aku hanya ingin menemuinya saja," ucap Na-ra.

"Kamu punya saudara tiri? Siapa?" tanyaku.

"Iya, aku punya satu saudara tiri yang seumuran dengan kita. Setelah ibuku meninggal, ayahku menikah lagi dengan wanita yang punya anak laki-laki saat aku kelas satu SMA," ucap Na-ra.

"Seperti apa orangnya?" tanyaku.

"Hmmm.... Nah, itu dia orangnya!" ucap Na-ra.

Setelah Na-ra menunjuk ke arah seorang pria yang sedang berdiri di lantai satu gedung universitas Seoul, seseorang yang tidak asing lagi di memoriku datang mendekatiku dan Na-ra. Orang itu adalah salah satu teman sekelasku sewaktu di sekolah menengah atas.

"Halo Park Eun-yeul! Halo saudara tiri!" ucap Kwon Man-sik.

Man-sik mendekatiku dan merangkulku. Tubuhku dirangkul dengan erat olehnya, sehingga membuat Na-ra bingung.

"Man-sik!" tegurku sambil berusaha melepaskan rangkulan. Aku tidak ingin Na-ra berpikiran yang tidak-tidak dengan sikap Man-sik tadi.

"Eh, kalian berdua sudah saling kenal? Sejak kapan?" tanya Na-ra.

"Dulu kami satu sekolah. Waktu kelas 2 di sekolah menengah atas, dia datang ke sekolah kami," ucapku.

"Kalian juga saling kenal?" tanya Man-sik hampir tidak percaya.

"Kami teman dekat sewaktu di sekolah dasar," ucap Na-ra.

"Kalau aku tau tentang kalian berdua dari dulu, kita kan bisa main bertiga!" ucap Man-sik.

"Iya ya," ucapku.

"Kamu tahu tidak kalau Man-sik pindah dari luar negeri karena ibunya ingin menikah dengan ayahku?" tanya Na-ra.

A Letter from My FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang