Part 12

25 1 0
                                    

Aku dan Man-sik memasuki sebuah kedai kecil di kota Busan. Kedai itu lebih dikenal dengan minumannya dibandingkan dengan makanannya.

Aku memesan segelas teh hangat dan satu porsi hotteok yang berisi empat hotteok. Di hadapanku, Man-sik memesan segelas kopi hangat dan menyantap hotteok yang sama denganku karena kami memang hanya memesan satu porsi hotteok saja.

"Wah, ternyata benar ya kalau minuman di kedai ini lebih terkenal dari pada makanannya!" ucap aku.

"Berarti, aku tidak bohong padamu kan?" tanya Man-sik.

"Iya, kamu benar! Teh yang aku pesan saja wanginya harum sekali. Tapi menurutku, rasa dri hotteok yang disajikan di tempat ini tidak buruk. Aku suka kok!" ucap aku.

"Menurutku juga begitu. Hotteoknya enak juga," ucap Man-sik.

Aku melihat ke sekeliling aku. Meja lain di sekitarku diisi oleh pasangan suami istri atau pasangan kakek nenek yang menghabiskan masa tua mereka sambil memesan segelas minuman dan bercerita satu sama lain. Ada juga pasangan yang menyeduh kopi sambil bernostalgia tentang masa lalu mereka berdua. Aku jadi iri pada para pasangan yang bisa bercerita satu sama lain sambil menyeduh kopi atau teh.

"Apa yang kamu lihat dari tadi?" tanya Man-sik.

"Ah, bikan apa-apa kok," jawabku.

"Eun-yeul, ceritakan pengalaman menarik mu sebelum kamu mengenal aku," ucap Man-sik.

"Pengalaman menarik apa?" tanyaku.

"Ceritakan apa saja yang menarik bagimu. Aku ingin mendengarnya. Aku ini pacarmu. Aku ingin tahu tentangmu lebih banyak lagi," ucap Man-sik.

"Hmm, apa ya? Aku hanya punya sedikit pengalaman menyenangkan. Kalau tidak salah saat ulang tahunku yang ke empat. Kata ibuku, aku sangat bahagia pada saat itu. Saat itu juga, aku sudah lancar membaca. Itu adalah ulang tahunku yang terakhir kalinya bersama ayahku. Ayahku membelikanku baju baru dari uang tabungannya. Ibuku memasak begitu banyak makanan yang lezat. Saat itu Jae-min belum lahir dan masih ada di dalam kandungan. Saat itu juga, aku dikunjungi oleh seorang anak laki-laki yang tidak mau berkenalan denganku. Aku lupa seperti apa wajah anak itu. Yang jelas, dia memberiku sebuah kado tetapi dia tidak mau berkenalan denganku," ucapku.

"Apakah anak itu masih belum mengenalmu sampai sekarang? Sombong sekali dia!" ucap Man-sik di hadapanku. Man-sik menyeduh kopinya dan aku menyeduh teh milikku.

"Kamu tahu apa yang terjadi pada anak itu? Saat aku sudah ada di sekolah dasar, anak itu mendekatiku dan mengajak kenalan denganku. Bukan aku yang minta untuk kenalan dengannya, tetapi dia sendiri yang ingin berkenalan denganku," ucapku.

"Lalu, bagaimana dengan kamu dan anak itu? Apakah kalian berteman dekat?" tanya Man-sik.

"Iya! Kami berteman dekat sampai sekarang," ucapku.

"Oh begitu. Tunggu! Apakah anak yang kamu maksud itu adalah si penyanyi yang dekat denganmu itu?" tanya Man-sik.

"Iya. Dia adalah Jung-woo. Jadi, sebenarnya dia dan aku sudah bertemu sejak kami masih berusia empat tahun. Tapi, pada saat itu, aku dan dia belum berkenalan. Awalnya aku pikir mereka adalah dua orang yang berbeda karena aku lupa dengan wajah anak kecil itu. Tapi, Jung-woo sendiri yang mengatakan padaku saat aku kelas tiga di sekolah dasar setelah dia ingin berkenalan denganku. Sepulang sekolah aku bertanya pada ibuku dan ibuku membenarkan apa yang dikatakan oleh Jung-woo di sekolah," ucapku.

"Eun-yeul, kamu pernah berpikir tidak waktu kamu masih kecil tentang masa depan? Apakah kamu pernah berpikir sepuluh atau dua puluh tahun lagi kamu akan jadi seperti apa? Lalu, apakah kamu pernah membayangkan bagaimana persahabatanmu dengan Jung-woo di kemudian hari?" tanya Man-sik.

A Letter from My FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang