VML17: Tidak Suka

3.8K 266 29
                                    

Devin mengernyit, ketika melihat Velin yang kesulitan menarik sabuk pengamannya.

"Kenapa?"

"Seatbelt nya susah ditarik?" Velin membalas, tangannya masih terus berusaha menarik sabuk pengaman.

"Masa sih?" tanya Devin keheranan.

Di saat Velin masih berusaha untuk menarik sabuk pengamannya. Tangan Devin terulur, melintasi tubuhnya. Tentu saja hal itu membuatnya terkejut.

Velin menahan napas melihat jarak antara dirinya dan Devin sangat dekat. Detak jantungnya berdegup dengan kencang, bahkan dia bisa mendengarnya.

Velin tersadar dari lamunannya ketika terdengar ketukan pintu kamarnya. Posisi Velin yang sedang berbaring membuatnya malas untuk beranjak dari tempat tidur.

Dengan langkah lunglai, Velin berjalan menuju pintu, membukanya. Melihat ibunya berdiri di depan pintu Velin bertanya, "Kenapa, Bun?"

"Kamu mau tolongin Bunda sesuatu?"

"Tolongin apa Bun?" Alisnya tertaut.

"Tolong, antarin kue-kue yang ada di bawah ke rumah Tante Lisa. Tante Lisa ngadain arisan di rumahnya jam tujuh malam. Sebenarnya Bunda bisa aja ngantarin, tapi Bunda masih sibuk buat kue yang lain. Jadi kamu aja yang ngantarin ya?"

Velin berpikir, menimbang-nimbang. Jika tidak karena kejadian tadi, Velin pasti akan mengantarkan kue-kue itu. Tapi, sejak kejadian itu, saat matanya bertatapan dengan Devin. Dia merasakan jantungnya yang terus berdegup tidak karuan. Sampai Devin telah mengantarkannya pulang, dia tetap masih merasakan detak jantungnya yang berdegup dengan cepat.

Velin harus apa?

Cewek itu bisa saja beralasan kalau rumah Devin jauh, jadi tidak bisa mengantarkan kue itu. Namun, rumah Devin saja ada di komplek perumahan sebelah. Jaraknya tidak jauh dari rumahnya.

Mengangguk, Velin sudah memutuskan akan mengantarkan kue itu.

●●●●

Kakinya terus menapaki jalan aspal, berjalan di komplek perumahannya. Mata Velin sesekali menatap dua kantung plastik yang berada di kiri-kanan tangannya. Berisi kue-kue buatan ibunya.

Walaupun dia tadi sempat ragu untuk mengantarkan kue-kue tersebut. Namun, tetap saja seulas senyum terpampang di wajah Velin. Hingga sebuah motor berhenti di sampingnya. Membuat langkah Velin juga ikut berhenti.

Orang itu melepaskan helm. Menoleh pada Velin dengan senyum. "Butuh tumpangan?"

Kening Velin mengerut, berpikir lalu dia baru teringat dengan cowok di sampingnya ini. "Kak Rafael teman Devin?"

"Kak?" Cowok itu seperti terkejut dengan panggilan Velin, lalu menambahkan. "Lo manggil Devin nggak pakai embel-embel 'kak' masa kalo manggil gue pakai 'kak'. Nggak usah, Rafael aja."

"Gitu, ya."

Rafael mengangguk, "Butuh tumpangan nggak nih, lo mau ke rumah Devin kan?" Rafael menawarkan kembali.

Agak ragu, Velin mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Yaudah naik."

Dengan perasaan canggung, Velin berusaha naik, tapi dia kesulitan naik karena dua tangannya memegang dua kantung plastik.

"Sini gue yang pegang dulu." Rafael mengambil dua kantung plastik tersebut dari tangan Velin.

Pelan-pelan, Velin memanjat naik, memegang bahu Rafael. Dan berhasil duduk sempurna di jok motor. Sebelum Rafael menjalankan motornya ia memberi dua kantung plastik itu pada Velin.

Velina My Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang