VML32: Menjauh

3.6K 228 15
                                    

BERDIAM diri di dalam kamar, Devin hanya menatap kosong langit-langit kamarnya, cowok itu seperti tidak ada niat keluar kamar sama sekali.

Bahkan sudah berulang kali Lisa mengetuk pintu kamar anaknya itu, tetapi Devin tidak merespon apapun dia hanya diam, bisu layaknya patung.

Kesalahannya sudah sangat fatal, dia tidak tahu apakah Velin akan memaafkannya atau tidak. Setelah melihat perempuan itu berlari menjauh semalam dan melihatnya masuk ke dalam mobil Alfar.

Devin tidak bisa melakukan apapun, dia hanya berdiri diam menatap mobil yang bergerak menjauh, dan lama-lama hanya seperti titik kecil di matanya.

Devin bodoh, semua ini hanya jebakan. Dia dijebak, dan Devin tahu dalang dari semua ini siapa. Alfar. Pantas saja Bara sangat memaksa Devin untuk ikut, ternyata ada sesuatu di balik ini semua.

Dan saat pikiran Devin sudah kembali normal semalam dia berniat mengejar Velin dengan mobilnya. Tetapi dia malah bertemu dengan Thalita. Dan Devin sangat ingat semalam, apa saja yang Thalita katakan.

"Lo bodoh, Dev. Kenapa lo nerima ajakan mereka."

Devin semalam hanya bisa diam, tidak menyela ataupun membalas perkataan Thalita.

"Lo tahu kalo Velin trauma sama balapan, Dev. Tapi Lo tetep ngikutin kegiatan itu."

Saat itu, Devin tidak mengerti dengan ucapan Thalita, yang Devin tahu Velin benci dengan balapan bukan trauma, dan alasan Velin benci balapan karena dulu kakaknya hampir masuk penjara.

"Mungkin yang lo tau cuma kak Vier yang hampir masuk penjara, tapi apa lo tahu keluarga Velin hampir bangkrut karena pemberitaan itu."

Tapi saat Thalita melanjutkan perkataannya Devin sangat tahu seberapa trauma Velin dengan balapan. Jadi Devin sudah melakukan kesalahan fatal? Velin pasti tidak mau lagi bertemu dengannya.

Malam itu juga Devin tahu semua kebenarannya, alasan Velin pergi. Thalita menceritakan semuanya, dialah penyebab Velin pergi darinya, dan dia juga mengaku kalau dia dulu tidak suka saat Devin yang lebih peduli pada Velin dibandingkan dirinya.

Yang harus Devin lakukan sekarang adalah datang ke rumah Velin. Walaupun Velin tidak ingin bertemu dengannya. Devin tidak peduli, dia ingin meminta maaf.

Dia sangat menyayangi Velin melebihi apapun. Dia perempuan pertama setelah ibunya yang selalu membuatnya tertawa. Perempuan pertama yang menjadi sahabatnya.

Velin segalanya dan Devin akan melakukan apapun agar Velin memaafkannya, dan mau bertemu lagi dengannya.

Ya, Devin harus melakukan itu.

●●●●

"Ada perlu apa lo kesini?" Itu adalah perkataan pertama yang Vier lontarkan, saat melihat Devin datang ke rumahnya.

Devin berdiri di depan pintu rumah Velin sembari menatap kakaknya Velin itu. "Gue mau ketemu adik lo."

Wajah Vier masih tidak bereaksi apapun kala mengucapkan. "Setelah lo bawa adik gue pergi tengah malam."

Devin terperangah, terlalu terkejut saat Vier menuduhnya yang membawa Velin pergi semalam. "Bukan gue yang bawa Velin pergi."

Vier mengangkat sebelah alisnya mendengar elakan Devin. "Kalo bukan lo siapa lagi. Bunda nelpon Tante Lisa tadi malam, dan bilang kalo lo nggak ada di rumah."

"Lo salah Kak. Gue emang nggak ada di rumah karena gue ada di arena balapan tadi malam."

Devin tahu, Vier pasti sangat mengerti maksud ucapannya, tetapi kenapa wajah Vier masih belum ada tanda-tanda marah.

"Bukannya gue udah bilang buat nggak ikutan balapan lagi, Dev." Vier mengingatkan. "Tapi kenapa lo masih ngikutin hal itu."

"Awalnya gue dipaksa untuk ikut, Kak dan gue pikir mungkin ini terakhir kalinya gue ikut." Vier hanya memasang wajah datarnya saat mendengar.

"Tapi ternyata gue salah, Kak. Velin datang tadi malam ke arena balapan. Gue kaget saat itu, Velin nampar gue terus bilang kalo dia kecewa sama gue."

Vier sama sekali tidak bereaksi apapun, membuat Devin mengernyit, Devin bisa menerima tonjokkan apapun dari Vier, tapi melihat Vier hanya memasang wajah datar, Devin jadi bingung sendiri.

"Jadi Velin pergi sama siapa tadi malam?" tanya Vier sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

"Sama saudara tiri gue." Devin menjawab walaupun dalam hati Devin bingung kenapa Vier sama sekali tidak terlihat marah.

"Alfar?" Tebakan Vier yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Devin.

Vier menghela napas. "Sebenarnya gue pengen banget nonjok lo sekarang."

Perkataan Vier malah membuat Devin tersenyum miring. Inilah kakaknya Velin yang Devin kenal.

"Gue siap nerima tonjokkan apapun dari lo, Kak."

Dengan wajah datarnya, Vier kembali berbicara. "Mungkin lain kali, karena sekarang lo harus berusaha mendapatkan permohonan maafnya Velin."

Vier menepuk bahu Devin dua kali. "Gue nggak bisa bantuin lo apapun. Lo harus berusaha sendiri, mencari berbagai cara supaya adik gue mau maafin lo."

Setelah mengucapkan itu Vier melangkah pergi sembari merapikan jasnya.

"Devin."

Merasa namanya di panggil Devin kembali menoleh ke depannya. Ternyata ibunya Velin, perempuan paruh baya itu memakai celemek baru saja keluar dari dapur.

Devin menyalami tangan ibunya Velin. Shin tersenyum dan mempersilahkan Devin untuk masuk.

"Sebenarnya Bunda mau nanya sama kamu, Dev?"

Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Devin menoleh pada Shinta yang berdiri di sebelahnya.

"Mau nanya apa Bun?"

"Kamu yang tadi malam bawa Velin pergi?" tanya Shinta, pasti ibunya Velin itu sangat khawatir pada Velin tadi malam tetapi walaupun begitu Shinta bertanya dengan sangat lembut. Seperti tidak marah sama sekali karena anak perempuannya itu keluar tengah malam.

Devin diam, bagaimana cara menjelaskan Devin tidak tahu harus menjawab apa.

"Yaudah kalo kamu nggak mau ngejelasin." Ibunya Velin tersenyum menepuk pipi Devin dua kali lalu melenggang lagi ke arah dapur.

Namun, sebelum sepenuhnya Shinta menghilang di balik dapur. Dia berkata. "Kamu ke atas aja, Dev. Velin ada di kamarnya tapi kayaknya pintunya dikunci dari dalam. Dia nggak keluar kamar dari tadi pagi."

Devin hanya mengangguk, melenggang ke arah tangga. Menaiki setiap undakan tangga dengan terburu-buru.

Devin berhenti tepat di depan pintu bewarna biru laut, kesukaan warna Velin. Dia mengetuk pintu tersebut tiga kali tetapi tidak ada yang merespon dari dalam.

"Vel." Masih tidak ada jawaban.

"Gue minta maaf." Devin kembali mengetuk pintu kamarnya. "Gue tau gue salah Vel, maafin gue."

"Gue bodoh karena ngikutin hal kayak gitu," ucap Devin lirih. "Plis... Vel maafin gue. Jangan marah sama gue Vel."

Sudah lima kali Devin mengucapkan kata-kata itu berulang kali. Tetapi masih tidak ada respon dari dalam.

Devin menurunkan tangannya dari pintu, menyerah mengetuk pintu. Menghela napas, Devin menyandarkan kepala di pintu, sudah dipastikan Velin benar-benar tidak mau lagi bertemu dengannya.

Disisi lain, Velin menutupi wajahnya dengan bantal menahan isakan yang keluar dari mulutnya. Air matanya terus keluar tanpa henti, mendengar suara Devin membuat sesuatu di diri Velin terasa sesak. Sesak karena terlalu kecewa dengan cowok itu.

To Be Continue
  (4 Juli 2017)

Velina My Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang