VML36: Saatnya

3.6K 228 5
                                    

TATAPAN kosongnya terpekur pada layar televisi di depannya. Tidak ada tontonan apapun di layar tersebut, televisi itu mati. Tetapi sepertinya Velin tidak ada niat untuk bangun dari sofa nyamannya. Tangan kirinya bertopang pada sandaran sofa. Lalu tangan kanannya sedang memainkan remote dengan gerakan memutar.

Sudah beberapa hari ini Velin terlihat seperti patung hidup. Dia masih melakukan kegiatan sehari-harinya. Namun, dia melakukannya hampir menyerupai robot.

Setelah kejadian itu Velin semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya. Velin takut, takut jika nanti perasaannya benar-benar jatuh pada Devin. Mungkin saja kalau Velin tidak pernah mengetahui Devin yang selalu mengikuti balapan, Velin akan membiarkan perasaannya semakin bertumbuh besar.

Tetapi tidak dengan keadaan sekarang, setelah Devin mengecewakannya dengan ikut hal yang Velin benci sekaligus membuatnya takut. Selalu sulit membuat Velin memaafkan Devin.

Namun di satu sisi, Velin ingin bersikap seperti dulu di depan Devin. Cerewet dan banyak omong.

Seketika lamunan Velin buyar saat tangan seseorang mengambil remote TV di tangannya. Menengadahkan kepala, Velin terkejut kala melihat ibunya yang ternyata sudah berdiri di belakangnya.

"Bunda sejak kapan disini?"

Ibunya berjalan memutar, lalu duduk di sebelahnya. "Kamu kenapa sih? Bunda liatin dari kemarin, kamu banyak diam."

Kedua sudut bibirnya terangkat, Velin menggeleng. "Velin gak kenapa-napa Bund."

"Kamu jangan bohong sama Bunda. Bunda tahu kok kalo kamu udah lima hari nggak mau pulang bareng Devin. Kalian ada masalah?"

Velin terdiam sebentar sebelum kembali menggeleng

"Velin sama Devin nggak ada masalah apapun, Bund. Percaya sama Velin."

Shinta menghela napas, mengusap kepala anaknya. "Bunda udah tau semuanya,"

Alis Velin berkerut.

"Kak Vier cerita kalau Devin ikut balapan."

Velin sama sekali tidak bereaksi apapun saat ucapan itu keluar dari mulut ibunya.

"Dan Bunda udah tahu kenapa kamu keluar malam-malam. Kamu ke tempat balapan itukan? Kamu ngelihat Devin yang lagi balapan di sana."

Tidak ada suara sahutan apapun dari Velin.

"Karena itu kamu ngejauhin Devin."

Velin ingin menyela semua ucapan Shinta tetapi Velin merasa sulit untuk mengatakan apapun. Teronggokkannya terasa kering.

Kemudian Velin menghela napas. Semua perkataan ibunya benar. Dan Velin tidak bisa menyangkal apa-apa.

"Kamu jangan kayak gini, Velin. Bunda juga kaget saat tahu itu semua tapi saat Bunda berpikir, Bunda tahu kenapa Devin bisa berubah, dan semua itu ada alasannya."

Velin yang tadi sempat menunduk, menoleh kembali pada Shinta.

"Sikap itu nggak sama kayak perasaan, sayang. Perasaan itu berubah tanpa kamu tahu alasan yang jelasnya itu apa, tapi kalau sikap. Dia berubah karena alasan tertentu."

Velin semakin terdiam, tidak berkutik.

"Kamu tahu alasan Devin berubah. Perceraian orang tuanya membuat Devin merasa hancur dan nggak tahu harus berbuat apa. Seharusnya kamu," Bunda memegang kedua pundak Velin. "Membantu Devin untuk kembali lagi seperti dulu. Bukannya menjauhinya."

"Kamu mengerti Vel." Bunda menangkup kedua pipi anaknya. Tidak ada jawaban.

"Anak Bunda harus ngerti."

Shinta berdiri sebelum meninggalkan Velin, Shinta kembali mengusap lembut rambut Velin.

Perempuan itu terdiam, merenung. Perkataan ibunya benar. Seharusnya. Seharusnya ia tidak menjauhi Devin tetapi membantu Devin untuk berubah seperti dulu.

●●●●

"Mau kemana kamu?"

Lisa lantas bertanya saat melihat Devin yang menuruni tangga dengan keadaan rapi. Cowok itu memakai celana jeans dan kemeja yang tidak dikancing memperlihatkan kaos putihnya.

"Mau pergi sama Farel."

Devin menghampiri ibunya yang sedang duduk di atas sofa.

Lisa menutup majalah yang tadi sempat wanita paruh baya itu baca.

"Kamu nggak akan macam-macam lagi kan Dev."

Devin terperangah dengan tuduhan Lisa. Tetapi detik selanjutnya ia tersenyum, "Devin nggak akan macam-macam, Mom. Tenang aja."

Devin mengulurkan tangannya. "Kunci mobil."

"Kamu kira Mom akan ngasih kunci mobil kamu, setelah kamu bohong sama Mommy, kamu bilang nggak akan pernah ikut balapan lagi. Tapi ternyata...,"

Mata Devin membulat penuh, tidak percaya jika ibunya akan bersikap seperti ini.

"Yaudah kunci motor aja." Devin kembali mengulurkan tangannya.

"Nggak dua-duanya. Dua barang itu Mom sita sampai kamu benar-benar berubah."

Melihat Devin yang akan membantahnya, Lisa menambahkan.
"Dan mulai besok kamu berangkat sekolah bareng temen kamu aja."

Devin semakin dibuat tidak percaya dengan Lisa, apa ibunya bilang tadi. Berangkat sekolah bareng temannya?!

"Mom lagi bercanda kan?"

"Kata siapa Mom bercanda? Mom serius." Raut mukanya sama sekali tidak terbantahkan.

Devin menghembuskan napasnya, kesal. Tetapi kemudian matanya melirik amplop di meja.

"Itu dari siapa Mom?"

Lisa yang hendak kembali membuka buku majalahnya, terhenti mendengar pertanyaan Devin. Dia ikut melirik amplop cokelat di meja.

"Ini isinya undangan pesta."

"Pesta?" Alis Devin terangkat sebelah.

"Iya, Pesta ulang tahun perusahaan Om Bagas."

Perusahaan Om Bagas? Devin memikirkan pertanyaan itu dalam hati. Namun, saat Devin memulai praduganya, hal yang mungkin tidak akan baik. Dia menoleh.

"Mommy nggak mungkin ngajak Devin kan?"

"Mommy mau mau ngajak kamu." Jawab ibunya tersenyum seolah mengajak Devin ke pesta yang akan membuatnya bertemu dengan ayahnya tidak akan jadi masalah.

"Devin nggak mau!" ucapnya tegas.

"Kamu harus ikut, Mommy nggak mau tahu."

"Devin nggak mau ketemu Daddy, Mom." Sorot mata Devin serius. "Jadi jangan paksa Devin."

"Mommy nggak memaksa kamu untuk ketemu Daddy. Mom cuma mau bilang Velin akan datang kesana. Bukannya kamu bilang, Velin udah hampir lima hari nggak mau ketemu kamu."

Devin yang tadinya malas dengan perkataan ibunya. Langsung menengok saat nama Velin disebut. Sebesar itukah pengaruh Velin.

"Velin akan ke sana?"

Lisa mengangguk. "Itu kesempatan kamu untuk mendapatkan permintaan maaf Velin."

To Be Continue
(7 Juli 2017)

●●●●

Jangan lupa setelah baca di vote :))

Velina My Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang