VML35: Harus Memaafkan?

3.6K 228 27
                                    

VELIN terus berlari meninggalkan Alfar, sesekali ia menengok ke belakang, apakah Alfar mengejarnya atau tidak. Velin merasa lega ternyata cowok itu tidak mengejarnya.

Velin menatap ke atas langit, melihat awan hitam yang menggantung di sana. Velin perkirakan jika tak lama lagi hujan akan turun. Melihat halte, Velin memutuskan untuk menunggu di sana saja.

Dia hanya berdiri diam sambil melihat langit mendung, angin mulai berhembus kencang membuatnya agak kedinginan. Sejak tadi Velin sudah mencoba menghubungi kakaknya tetapi selalu operator yang menjawab.

Dan tak lama, sebuah motor hitam berhenti tepat di hadapan Velin. Dia sudah bisa menebak siapa yang berada dibalik helm yang berwarna sama dengan motornya.

Cowok itu melepaskan helm-nya membuat mata cokelat Velin langsung bertabrakan dengan mata hitam milik lelaki itu.

"Sekarang lo udah mau pulang bareng gue?" tanya Devin, "langitnya udah mendung Vel. Pasti dikit lagi hujan."

Velin memandang Devin tanpa ekspresi. "Kan aku udah bilang, aku nggak mau pulang bareng kamu."

Devin menghembuskan napasnya perlahan, mungkin mencoba bersabar dengan kekeraskepalaannya. Tetapi Velin tidak peduli soal itu.

"Lo mau nunggu di sini sampe hujannya turun?" Alis Devin terangkat saat bertanya.

Velin mengangguk, meski dalam hati Velin sangat takut menunggu disini apalagi nanti hujan. Velin bukan takut hujan tetapi takut dengan temannya hujan, petir.

Velin kira Devin akan mulai menjalankan motornya, meninggalkannya sendiri tetapi ternyata dia salah. Bukannya melakukan yang ada dipikiran Velin, Devin malah memarkirkan motornya lalu turun dan berdiri disebelahnya.

"Kenapa kamu nggak pulang?" Velin menunjukkan raut kebingungannya melihat Devin.

Devin menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena gue nggak mau ninggalin lo sendirian."

Pernyataan Devin membuat rona merah muncul dipipinya. Salah tingkah, Velin memalingkan wajahnya menutupi pipinya yang memerah. Kenapa Devin harus bersikap manis seperti ini? Disaat dirinya berusaha untuk menjauh darinya. Dan karena kebingungan Velin memilih untuk tak mengacuhkannya.

Memeluk tubunya sendiri, Velin menatap kendaraan yang berlalu lalang. Angin semakin kencang berhembus, membawa daun-daun kering bersamanya.

Fokus Velin teralihkan pada daun kering-kering itu, terkadang Velin berpikir hidup itu hampir seperti daun. Angin membawa daun pergi kemanapun, membawanya terbang tinggi tetapi ada saatnya angin itu berhenti membawa terbang daun dan malahan menjatuhkannya.

Velin berhenti menatap daun-daun itu saat Devin mengulurkan tangannya, memberikan jaket hitam yang tadi sedang dipakai cowok itu. Menatap Devin dan jaket itu bergantian, Velin mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Gue nggak mau lo kedinginan."

"Aku nggak butuh jaket kamu," ucap Velin sedikit ketus.

Dari sudut matanya, Velin memerhatikan Devin yang malahan melipat jaket itu bukannya memakainya kembali.

"Kenapa kamu nggak pakai lagi jaketnya?" Sepertinya Velin sejak tadi selalu bertanya dengan kata kenapa.

"Kan lo nggak mau pakai jaketnya. Yaudah gue juga nggak pakai jaketnya." Velin hanya menatap diam Devin.

"Karena kalo lo kedinginan. Gue juga harus kedinginan." Lanjutan kata-kata Devin kembali membuat Velin tertegun, tak butuh lama pipi Velin kembali bersemu merah.

Velin kembali menatap lurus kedepan, mengalihkan tatapan mata lembut Devin yang memandangnya.

Velin terus-menerus mengusap lengannya yang kedinginan, sebenarnya Velin sudah tidak kuat dengan udara dingin disini.

Velina My Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang