VML33: Menghindar

3.6K 215 25
                                    

MERASA terganggu dengan kebisingan yang menelusup ke telinganya, Devin mengangkat kepalanya, yang tadinya menelungkup di lipatan tangan. Dia menatap tajam ketiga temannya itu, yang sejak tadi tidak berhenti cekikikan seperti orang gila.

"Lo semua bisa diam nggak sih!" Kesal Devin.

Teman Devin yang duduk di sebelahnya dan juga bangku di depannya menoleh pada Devin lalu tertawa, bahkan Farel sampai memegang perutnya, saking kerasnya tertawa.

"Nggak ada yang lucu!"

Ketiga temannya Devin bukannya takut melihat tatapan Devin yang semakin tajam, mereka malah semakin keras tertawa.

Bahkan penghuni kelas lainnya, langsung menoleh pada tempat berkumpul mereka.

Devin memilih tidak peduli dan kembali menelungkupkan wajahnya.

"Udah lah Dev, sesi galau-galaunya. Emang lo nggak bosen apa mikirin Velin terus."

Ucapan Farel yang menurut Eza sangat bodoh, langsung mendapatkan sentilan kecil darinya.

Farel hanya memberengut menatap Eza sembari mengusap-ngusap keningnya yang terkena sentilan, walaupun sentilan itu kecil tetapi berhasil membuat dahi Farel memerah.

"Gue mau ke toilet."

Perkataan Devin yang tiba-tiba lantas membuat ketiga temannya kembali menoleh padanya. Devin sudah bangkit berdiri.

Tanpa menunggu balasan dari teman-temannya Devin melenggang keluar kelas.

Farel, Eza, Rafael saling tatap lalu memulai sesi saling tuduh.

"Lo sih, jadi baper kan dia." Farel mulai dulu.

"Lah salah lo bego. Lo yang ngatain dia." Rafael membalas.

"Gara-gara lo, Rel. Kesel kan tuh Devin."

"Emang nih, lo mah nyari gara-gara terus, Rel."

"Demen banget lo bencandain Devin. Padahal orangnya lagi galau."

Rafael dan Eza terus menuduh Farel dengan kata-katanya. Tidak membiarkan Farel untuk mengucapkan apapun

Farel mencebikkan bibirnya, mendengus. "Iya gue yang salah."

Akhirnya Farel pun menyerah membuat Eza dan Rafael tertawa terbahak-bahak.

●●●●

Devin berjalan di sepanjang koridor, keadaannya sangat sepi karena sekarang masih jam pelajaran, guru di kelas Devin yang sedang ikut dinas membuatnya freeclass.

Farel dan Rafael bukan termasuk teman kelasnya, tetapi kedua cowok itu tetap masuk ke dalam kelas padahal di kelasnya lagi ada guru yang mengajar.

Benar-benar anak bodoh.

Devin memasukkan sebelah tangannya di saku, terus melangkah di sepanjang koridor. Toilet yang berada di ujung koridor membuatnya harus melewati ruang guru, dan saat itulah langkahnya terhenti.

Cowok itu memandang ke arah depan, melihat Velin yang sedang berjalan berlawanan dengan arahnya, cewek itu membawa setumpuk buku di tangannya.

Devin terus menatap Velin dari kejauhan dan langkah kaki Velin semakin mendekat ke arahnya. walaupun begitu, sepertinya perempuan itu tidak melihatnya, setengah wajahnya hampir tertutup dengan buku-buku tersebut.

Siapa yang menyuruh Velin membawa buku sebanyak itu, orang itu pasti tidak punya otak menyuruh perempuan seperti Velin membawa buku-buku tersebut Devin menyimpan kekesalan itu dalam hati.

Mata Devin langsung terbelalak melihat kaki Velin yang tersandung dan menjatuhkan semua buku yang dibawa olehnya ke lantai.

Detik itu juga Devin langsung berlari mendekati Velin, berjongkok menghadap perempuan itu.

"Lo gak apa-apa?" Wajah Devin sangat terlihat khawatir.

Velin memandang Devin terkejut, tetapi beberapa detik kemudian wajah itu berubah datar.

"Nggak pa-pa." Velin mengambil buku-buku yang berserakan di lantai lalu menumpuknya kembali di tangannya. Perempuan itu kembali berdiri tanpa memedulikan Devin sama sekali.

"Lo bakal jatuh lagi kalo tali sepatu lo nggak diiket." Devin masih berjongok lalu mendongak saat mengucapkan itu.

Velin hendak menaruh bukunya di lantai untuk mengikat tali sepatunya. Tetapi gerakan terhenti saat Devin mengucapkan.

"Biar gue aja." Cowok itu mengambil tali sepatu Velin tetapi dicegah oleh perempuan itu.

"Nggak, aku bisa sendiri."

Devin tidak pernah melihat Velin yang seperti ini, cewek itu terkesan tidak peduli padanya. Devin tahu sifat keras kepala Velin, tetapi tidak pernah kekeras kepala seperti ini.

Velin yang sudah menurunkan buku-bukunya di lantai dan hendak berjongkok untuk mengikat tali sepatunya.

Namun, gerakan Velin kalah cepat dengan Devin, cowok itu sudah menarik tali sepatu Velin lalu membuat simpul pita pada tali sepatu tersebut.

Velin hanya melongo melihat tali sepatunya yang sudah terikat kembali, dia mendongak saat melihat Devin yang sudah berdiri lagi.

Bangkit berdiri, Velin membungkuk mengambil setumpuk buku itu.

Velin menatap Devin dengan wajah yang tidak berekspresi sama sekali saat mengucapkan. "Terima kasih."

Tidak ada senyuman manis saat kata-kata itu keluar, tidak ada pertanyaan atau obrolan yang keluar dari mulutnya, setelah mengucapkan itu Velin pergi meninggalkan Devin yang termenung di tempat.

●●●●

Velin menatap kosong soal-soal yang ada di hadapannya. Velin benar-benar tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan kertas soal yang diberikan gurunya untuk dikerjakan dan dikumpulkan sekarang.

Pikirannya terlalu larut memikirkan Devin. Mungkin tadi Velin masih bisa menjaga ekspresinya untuk tidak menangis di depan Devin, tetapi siapa yang tahu jika cowok itu terus-menerus berdiri di dekatnya, apakah dia bisa menjaga ekspresinya di depan Devin?

"Vel, lo udah sampai nomor berapa?" Keisha bertanya sembari menatap soal-soal di kertasnya, tanpa menoleh pada Velin

Tidak mendengar adanya jawaban, Keisha menoleh ke arah Velin. Perempuan itu hanya menatap diam kertas soal itu, seperti tidak ada niat untuk mengerjakkan.

Keisha menepuk bahu Velin, membuatnya mengerjapkan matanya berulang kali.

"Bukannya ngerjain malah bengong."

Velin menatap Keisha malas. Menghela napas lalu tangan Velin mulai mengambil pulpen untuk mengerjakan soal-soal itu, Velin mencoba untuk berkonsentrasi.

"Lo kenapa sih?" Lagi-lagi Velin harus menoleh ke arah Keisha, dia mengerutkan keningnya menatap Velin.

"Nggak apa-apa." Velin tersenyum, tangannya sudah mulai mencoret-coret buku kosong di sebelahnya menghitung setiap baris angka di soal itu.

"Lo lagi ada masalah ya?"

Velin menulis jawabannya terlebih dahulu di kertas soal itu sebelum menoleh dan menggeleng. "Nggak ada."

Sepertinya Keisha masih belum puas mengentrogasi Velin, lalu perempuan itu bertanya yang membuat tubuh Velin kaku.

"Lo jadian ya sama Kak Devin?"

Itu bukan seperti pertanyaan melainkan sebuah pernyataan seolah Keisha bertanya hanya untuk memastikan saja.

"Kamu kata siapa?" Velin bertanya.

"Dari temannya Devin."

Velin mengernyit, "teman Devin ngasih tahu kamu?"

Keisha mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya. Gue seneng banget Vel akhirnya lo sama Kak Devin sekarang pacaran."

Velin tersenyum miris, Keisha tidak tahu dan biarkanlah dia tidak tahu. Padahal baru sehari hubungan persahabatan mereka berubah, tetapi sudah ada masalah saja.

To Be continue
  (5 Juli 2017)

Velina My Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang