5

70.5K 2K 13
                                    

Dengan napas tersegal aku sampai di depan ruang inap Ibu. Melihat Ibu yang kembali menggunakan selang oksigen dan selang-selang lainnya yang menghubungkan ke layar monitor membuat tubuhku lemas dan hatiku merasa diiris-iris.

Entah apa yang menyebabkan Ibu kembali drop seperti itu, padahal tadi sebelum berangkat aku sudah memastikan Ibu baik-baik saja dan Suster Lani mengatakan Ibu sudah jauh lebih baik, tapi kenapa sekarang tiba-tiba Ibu drop? Sempat terpikir olehku apa Ibu mendengar pembicaraan aku dan Ares?

'kalau iya begitu, Dina minta maaf Bu, Dina tidak bermaksud demikian, Dina salah telah membicarakan hal-hal yang seharusnya tidak di dengar Ibu.'

"Ah, syukurlah Mbak Dina cepat datang, Dokter Piere sudah menunggu Mbak diruangannya." Suster Lani yang melihat kedatanganku langsung memberitahu.

"Suster, bagaimana keadaan Ibu Sus?" Tanpa aku sadari air mataku mengalir begitu saja.

"Ibu Mbak Dina mulai membaik. lihatlah monitornya, detak jantungnya mulai kembali normal. Hanya saja tensi darahnya masih tinggi. Tapi Mbak Dina tidak perlu khawatir, perlahan tensi darahnyapun akan ikut normal."

"Syukurlah, dimana saya harus menemui Dokter Piere. Sus?" Ku usap air mataku ini dengan tangan.

"Di ruangannya Mbak, seperti biasa."

"Baiklah, terima kasih Sus."

"Sama-sama Mbak."

Meski pikiran sedang kacau karena rasa bersalah, aku bergegas menuju ruang dimana Dokter Piere berada.

Tanpa mengetuk pintu untuk kedua kalinya, dari dalam sudah terdengar sahutan. "Masuklah."

Ku pegang handle pintu dan mendorongnya perlahan, dengan wajah pucat dan tegang aku berusaha membalas senyuman ramah Dokter paruh baya itu.

"Masuk, duduklah." Dia berdiri dan menunjuk kursi di depan mejanya dengan sopan, dia menyuruhku untuk duduk.

"Selamat siang Dokter." Sapaku sedikit gugup.

"Siang." Jawabnya sambil menjabat tanganku. Sambutan hangatnya membuatku sedikit lebih tenang. "Tidak ada hal yang perlu kamu khawatirkan, tenanglah." Mungkin Dokter Piere melihatku begitu tegang dan gugup sehingga beliau berkata seperti itu.

"Ibu, bagaimana Dok?" Mendengar pertanyaanku, Dokter kharismatik itu hanya tersenyum sambil membuka map yang ada dihadapannya.

"Kamu putrinya Ibu Susanti yang ke?"

"Dua Dok, saya putri keduanya."

"Baiklah... Namamu..."

"Dina Dok, panggil saja Dina." Sesaat aku melihat Dokter Piere menatapku penuh penilaian, entah apa yang ada dipikirannya saat ini, lalu kemudian dia tersenyum.

"Begini... Dina," Dokter Piere kembali melihat beberapa lembar kertas yang ada di dalam mapnya. "Menurut Medical record yang saya terima beberapa hari ini kondisi Ibu Susanti tidak terlalu bagus, grafik yang naik turun menyebabkan Ibu Susanti sering mengalami kejang. Dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebaiknya dalam minggu ini kita lakukan operasi."

"Operasi Dok. Secepat itu. Minggu ini?" Tanyaku tidak percaya sekaligus shock, uang belum aku dapatkan dan Ibu harus secepatnya melakukan operasi.

"Iya, kondisi Ibumu tidak memungkinkan untuk menunggu lebih lama lagi, gejolak yang naik turun mengakibatkan hipertensinya tinggi terus dan selain kesehatan jantungnya terganggu. fungsi kerja ginjal tidak optimal." Dokter Piere menjelaskan secara terperinci tentang kondisi Ibu.

"Kalau sudah siap semuanya, operasi bisa dilakukan minggu depan, bagaiman? Bicarakanlah dahulu dengan saudara yang lain."

Bagaimana ini. Aku memang sangat menginginkan Ibu sembuh secepatnya, tapi uang tiga ratus juta rupiah bukan uang yang sedikit, dari mana aku bisa mendapatkannya?

"Biaya administrasinya memang cukup mahal, tapi kamu bisa membicarakan hal itu dengan pihak administrasi rumah sakit. Tidak perlu khawatir, dan kalau semuanya sudah selesai, beritahu Suster Lani, biar dia yang mengurus semua prosedurnya."

"Terima kasih banyak Dok. Saya akan membicarakannya dahulu dengan saudara-saudara yang lain."

"Baiklah, secepatnya saya tunggu keputusannya."

"Iya Dok. Kalau begitu saya permisi dan terima kasih banyak."

"Sama-sama."

***

Aku keluar dari ruang Dokter Piere seperti orang linglung, dengan langkah gontai dan tak tahu arah aku terus bejalan menyusuri lorong rumah sakit, melewati bangsal demi bangsal tanpa berniat melihat Ibu, aku terlalu malu untuk bertemu dengannya karena rasa bersalahku. Aku yang menyebabkan Ibu menjadi seperti sekarang ini.

Karena ketidakpekaanku terhadap apa yang dirasakan Ibu mengakibatkan Ibu berakhir dirumah sakit ini. Seandainya aku lebih memperhatikannya dan tidak terlalu sibuk dengan urusanku sendiri mungkin penyakit Ibu sudah diketahui sejak awal dan Ibu tidak perlu melakukan operasi.

Tanpa sadar aku sudah berada di gerbang depan rumah sakit, kalau saja Mbak Letta tidak menegurku dan menarik tanganku mungkin sekarang ini aku sudah berada dijalan raya.

"Mbak Letta,"

"Kamu ini kenapa? Kenapa berjalan seperti orang linglung?" Nada suara Mbak Letta sedikit marah karena keteledoranku.

"Ibu Mbak," Jawabku tanpa berani menatap wajahnya.

"Ibu kenapa? Apa terjadi sesuatu pada Ibu selama kamu menjaganya?" Kali ini nadanya lebih tinggi. Dengan cepat aku menggelengkan kepala.

"Lalu apa yang membuatmu seperti ini?"

"Maafkan Dina Mbak..." Kupeluk Mbak Letta tanpa mampu melanjutkan kata-kataku, selebihnya tangisku pecah di hadapan Mbak Letta.

Mbak Letta membalas pelukkanku, dia memelukku erat berusaha memberikan ketenangan, "Mbak juga minta maaf Din, Mbak juga salah."

"Mbak..."

"Sebaiknya kita bicarakan masalah ini disana." Mbak Letta menunjuk taman rumah sakit yang hijau dan asri. Aku mengangguk setuju, meski air mata ini tidak mau berhenti, aku sudah lelah dan capek harus berpura-pura kuat dan tegar.

Mbak Letta mengajakku duduk di sebuah bangku taman yang menghadap kearah kolam ikan, dengan lembut Mbak Letta mengusap-usap pundakku, "menangislah sepuasmu, kalau itu bisa meringankan bebanmu."

"Aku salah Mbak. Ini semua salahku?" Pembicaraanku dengan Ares, perjalananku menuju Bank, melihat Ibu yang terbaring lemah dan penjelasan Dokter Piere tentang penyakit Ibu. Semua berkelebat didalam pikiranku.

"Jangan menyalahkan dirimu seperti itu, semua memang sudah kehendak Tuhan. Tidak ada yang patut dipersalahkan. Sebaiknya kita berdoa untuk kesembuhan Ibu."

"Aku merasa bersalah Mbak, Ibu mengalami Kolaps karena aku, karena pembicaraanku tadi pagi dengan Ares. Seharusnya aku lebih berhati-hati dan bisa menjaga ucapanku,"

"sudahlah, tidak usah dipikirkan. Sekarang ini yang harus kita pikirkan bagaimana caranya mendapakan uang untuk operasi Ibu." Yang diucapkan Mbak Letta benar, aku menangis sampai keluar darah pun Ibu tidak akan sembuh kalau kita tidak melakukan sesuatu. Tapi apa yang harus kita lakukan?

"Mbak, saran Dokter Piere minggu depan Ibu harus menjalani operasi. Menurut Mbak bagaimana?" Kulihat Mbak Letta menarik napas berat, seberat beban yang kami rasakan.

"Kita harus secepatnya mencari pinjaman, karena hanya itu jalan satu-satunya untuk mendapatkan uang."

"Maafkan Dina, Mbak. Dina tidak mengijinkan Mbak menjual Yayasan peninggalan Bapak."

"Sudahlah kamu tidak perlu mengungkit-ungkit masalah itu. Dan omonganmu tempo hari ada benarnya juga, di Yayasan itu banyak sekali kenangan tentang Bapak yang tidak bisa kita jual."

"Bagaimana kalau kita cari pinjaman bersama-sama." Kataku penuh semangat, Mbak Letta tersenyum dan menggenggam tanganku erat.

Setidaknya satu masalah sudah mendapatkan solusinya.

***

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang