15

55.1K 1.9K 26
                                    

Fere POV

Dua minggu sudah aku tidak menghubungi Dina sekalipun, biarlah dia fokus merawat ibunya sampai ibunya benar-benar pulih kembali. Sejujurnya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Dina, bahkan ketika aku melihat benda sialan bernama ponsel, tanganku ini sudah gatal ingin menekan nomornya dan mendengar suara merdunya. Tapi aku jelas tidak bisa melakukan hal itu, karena aku sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengganggunya selama dia merawat ibunya.

Dan sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah mempekerjakan seseorang untuk mencari tahu kegiatan Dina setiap jamnya. Dengan begitu aku menjadi sedikit lebih tenang, meski terkadang foto-foto yang dikirim informan yang aku sewa membuatku geram karena melihat Dina berbicara dengan beberapa pria yang mungkin baru dikenalnya, Dina terlalu ramah dan murah senyum sampai membuatku sering marah-marah tanpa sebab. Ingin rasanya aku menyeret dia lalu membawanya pergi dan memasukkannya kedalam sebuah ruangan yang hanya aku seorang diri yang bisa melihatnya.

Menurut informasi yang aku terima beberapa waktu lalu, operasi ibunya berjalan lancar dan kemungkinan besok atau lusa sudah bisa dibawa pulang. Aku sampai tidak sabar menunggu dua hari untuk bertemu Dina. Ku pejamkan mata dan membayangkan wajahnya yang tengah tersenyum menyambut kedatanganku, tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Lalu senyum itu hilang dari wajahku ketika suara ketukan pintu ku dengar dan tanpa dikomando Risman masuk.

"Selamat pagi, Pak?" Sapanya sambil berjalan mendekatiku.

"Lain kali jangan dulu masuk sebelum aku mempersilakan." Dia tampak sedikit bingung karena selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan dia mau mengetuk pintu atau tidak apalagi harus mendengar aku mempersilakannya untuk masuk.

"Baik Pak." Jawaban Risman terdengar seperti mengejekku.

"Ada apa?" Tanya ku ketus.

"Ada kiriman paket untuk Bapak," dia menyerahkan amplop coklat berukuran A4 kehadapanku.

Tanpa banyak bertanya aku langsung membuka perekatnya dan mengintip isinya, aku tersenyum ketika tahu apa isinya, ku keluarkan beberapa lembar foto Dina yang dikirim informan yang aku sewa.

Dina begitu cantik dengan balutan dress sederhana berwarna pastel, dia tengah tersenyum sambil menatap anak kecil yang berpakaian rumah sakit di depannya, dia seperti bidadari cantik dan lembut. Di foto lain menampilkan Dina sedang melamun dan duduk di sebuah bangku taman di lingkungan rumah sakit, apa yang sedang dipikirkannya? Tiba-tiba saja aku ingin menghampirinya dan memberinya pelukkan. Ada juga beberapa foto yang menampilkan wajah cemas Dina dan sebagian besar foto yang diambil adalah Dina sedang tertawa bahagia.

Kembali senyum simpul ku perlihatkan sambil mengelus foto Dina. Ini foto kesekian yang dikirim informan yang aku sewa, selebihnya ada sekitar dua ratus foto yang sengaja aku simpan di dalam laci meja kerjaku. Terkadang kalau aku sedang jenuh dengan rutinitas pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya, aku sering iseng mengambil foto-foto tersebut secara acak dan itu merupakan hiburan tersendiri bagiku. Dengan hanya melihat fotonya saja mood ku sudah kembali membaik, tidak jarang aku duduk selama berjam-jam hanya untuk melihat berbagai ekspresi wajahnya. Ya, Tuhan aku begitu mencintainya sampai rasanya tidak sanggup kalau harus berpisah dengannya.

"Kalau tidak ada yang diperlukan lagi saya permisi Pak."

Glek, kutelan ludah dan langsung memasang wajah datar, lalu ku tatap Risman dengan tajam, Risman belum keluar dari ruanganku dan dia... Dan dia melihat apa yang aku lakukan. "Ngapain kamu masih berdiri disana. Cepat keluar!"

Kulihat sekilas Risman tersenyum, dia mengangguk hormat, "Permisi Pak," lalu melenggang pergi tanpa merasa bersalah.

"Shit, sialan kau Risman!" Umpatku geram. Risman telah membuatku malu.

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang