Fere menatap Dikal heran, tiket nonton GP sudah ia berikan, tapi Dikal belum beranjak dari tempat duduknya padahal ia sudah menyuruhnya pergi.
"Apa kita akan berangkat bersama?" Tanya Fere penuh selidik.
"Tidak, Ferrari merah di depan sudah menungguku." Jawab Dikal sambil bersiap-siap.
"Sial! Kenapa aku sampai lupa kamu berencana merampok harta milikku." Fere mengumpat dan mengerang frustasi.
"Kuncinya mas?"
"Tidak ada kunci, surat-suratnya juga belum selesai dipindah tangankan."
"Tidak masalah, Risman yang mengurusnya kan?"
"Iya, tapi..."
"Mas Fere tinggal memberikan kuncinya, selebihnya aku yang urus." Dengan enggan Fere berdiri dari duduknya mengambil kunci mobil dan menyerahkannya pada Dikal.
"Terima kasih banyak Mas." Dikal tersenyum senang sambil menyambar kunci mobil dari tangan Fere.
Tapi kemudian, ia diam dan menatap Dina. "Teh, kalau ada apa-apa hubungi aku." Setelah itu dia pergi sambil bersiul senang.
Dina berbicara dengan Fere setelah Dikal benar-benar pergi. "Seharusnya kamu tidak perlu memanjakan Dikal seperti itu, Ibu Lily dan Om Indra juga pasti tidak akan suka. Mereka akan marah kalau tahu kamu memberikan apapun yang Dikal mau."
"Dikal satu-satunya saudara yang aku miliki dan dengan permintaannya, jujur aku merasa menjadi Kakak yang sangat di butuhkan."
"Dikal tidak akan pernah belajar kalau kamu turuti semua kemauannya, dia akan menjadi orang pemalas dan..." Dina tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan cepat Fere mengecup bibirnya, seketika Dina diam mematung.
"Membahas Dikal tidak akan pernah ada ujungnya... Dan soal kejadian semalam aku benar-benar minta maaf telah membuatmu tidak nyaman." Fere tersenyum dengan tidak melepas kontak mata diantara mereka.
"Aku juga salah, aku minta maaf," Dina masih terkaget-kaget dengan perubahan sikap Fere, ia pikir mereka akan terus melanjutkan pertengkarannya.
"Jadi,"
"kita baikan," Dina memberikan jari kelingkingnya,
"deal." Fere menyambut uluran tangan Dina dan merekapun tersenyum lega.
"Siapkan sarapan, aku ganti baju sebentar."
"Baiklah,"
"terima kasih banyak." Fere menepuk pipi Dina dengan sayang kemudian beranjak meninggalkannya dan masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
***
Dina menopang dagunya menahan kantuk sambil menunggu Fere di meja makan, semalam ia tidak bisa tidur nyenyak karena pertengkarannya, terlebih lagi setelah Fere masuk ke dalam kamar untuk melihat dirinya yang sedang tidur.
"Kalau kamu ngantuk sebaiknya tidur lagi," Fere menarik kursi dan duduk persis di kepala meja makan.
"Aku temani sarapannya dan maaf sepertinya omeletnya sudah dingin... Atau kamu ingin yang baru? Biar aku buatkan untukmu." Dina berdiri tapi tangannya di tahan Fere supaya kembali duduk.
"Tidak apa-apa, duduklah temani aku makan."
Dina kembali duduk, "sudah tiga hari ini omeletnya aku yang buat, dan aku juga yang melarang chef Hadi untuk datang." Fere tidak menanggapi pengakuan Dina, ia fokus menyantap sarapannya. Dina sedikit gelisah dan ia tidak ingin kembali bertengkar dengan Fere setelah beberapa menit lalu berbaikan.
"Maaf kalau aku terlalu lancang, masalahnya kamu tidak protes sedikitpun ketika aku menyajikan omelet buatanku... Aku pikir kamu menyukainya jadi aku yang..." Dina langsung berhenti berbicara ketika tangan Fere tiba-tiba menyentuh tangannya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...