Dina POV
Matahari pagi menerobos masuk lewat jendela kaca yang masih tertutup tirai. Dengan malas aku membuka mata dan langsung tersentak ketika tanpa sengaja melihat jam digital yang ada diatas nakas. Dengan kata lain aku bangun kesiangan!
Sial! Kenapa aku suka sekali tidur. Jam berapa ini? Ku kerjap-kerjapkan mata dan mengambil jam digital yang telah menunjukkan pukul 7:30. Secepatnya aku turun dari tempat tidur dan berjalan sambil mengikat rambut sebahuku secara asal. Berharap Fere belum bagun.
Tapi harapan tinggal harapan, ku lihat Fere tengah duduk di meja makan dengan pakaian kerja lengkap. Yang benar saja, baru kemarin kami menikah dan rumah sisa pesta semalam belum dibereskan sepenuhnya, Fere sudah mau berangkat kerja. Lalu aku... Apa yang harus aku lakukan untuk mengisi waktu yang pasti akan sangat membosankan ini?
Dengan berdiri di belakangnya aku menatap punggung Fere yang tampak kokoh. Fere sedang menikmati sarapannya, begitu tenang dan tanpa suara. Sampai akupun menahan napas supaya Fere tidak menyadari kehadiranku, beruntung aku tidak memakai alas kaki, maka aku berjingjit dan meninggalkan Fere menuju wastafel terdekat. Mukaku langsung masam ketika aku teringat kejadian tadi malam, di wastafel ini Fere menarik cincin yang sekarang mulai ku benci, dari jari tanganku dan aku juga melakukan hal yang sama meski hasilnya sia-sia.
Ku gelengkan kepala dan mulai membuka air kran lalu membasuh muka di sana, kebiasaan buruk yang terbawa sampai sekarang. Apa peduliku, toh, Fere tidak mengetahuinya. Kuambil beberapa lembar tisu yang tergantung di pinggir wastafel dan mengeringkan muka lalu melempar tisu bekas kearah tempat sampah, persis dibawah wastafel. Bergegas ku hampiri Fere yang masih tidak menyadari kehadiranku. Kutarik kursi dan duduk di samping kanannya, itu menurut etika yang pernah aku pelajari selepas SMU.
Tidak ada makanan apapun! Yang benar saja, orang sekaya Fere tidak menyiapkan sarapan pagi untuk istrinya. Ini sudah sangat keterlaluan! Fere makan sendiri ditemani sepiring omelet dan segelas kopi.
Semalam aku tidak berani makan banyak karena korset sialan itu. Padahal menu makanan yang dihidangkan cukup beragam dan tentunya dibaut oleh koki profesional. Alhasil pagi ini aku cukup kelaparan, tapi hanya bisa menatap Fere yang sedang menyuapkan sendok demi sendok omelet ke mulutnya.
"Ada banyak hal yang harus kita bicarakan, tapi waktuku tidak banyak." Fere menaruh garfunya dan meletakannya diatas piring lalu menghisap kopinya dan menatapku setelah meletakkan cangkir kopi.
"Bagus, aku juga ingin membicarakan sesuatu denganmu." Jawabku keki, dasar orang kaya tidak peka! Dengarlah cacing didalam perutku sudah mulai protes.
"Apa kau tidak mandi?" Pertanyaan Fere membuat moodku menjadi semakin buruk.
Ku gelengkan kepala dan membela diri,"mana sempat, bangun saja kesiangan. Semalam aku kelelahan."
"Kalau begitu sebaiknya kamu mandi dan istirahat. Kita bisa membicarakan ini besok."
Perutku lapar dan aku ingin kau mengatakan secepatnya! Aku butuh sesuatu untuk dimakan.
"Tidak apa-apa, katakanlah apa yang ingin kamu katakan?"
"Baiklah," Fere menatapku beberapa saat. "Apa kamu tahu ada beberapa banyak CCTV di rumah ini?"
"Sudah terlihat di pintu masuk."
"Ada lima sampai enam titik CCTV di rumah ini." Apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Fere, kenapa hanya membahas CCTV yang menurutku tidak terlalu penting.
"Aku memantau semuanya,"
Bagus sekali. Ini rumah atau tahanan?
"Jangan pernah sekalipun kamu naik ke lantai dua," kalau tidak boleh kenapa rumah ini dibangun dua lantai? Umpatku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...