Dina POV
Akan aku apakan gift box - gift box ini? Aku simpan dan sembunyikan di kamar atau aku kembalikan pada orang yang memberikannya. Pilihan yang sulit, di satu sisi aku sangat ingin memiliki barang branded seperti ini tapi di sisi lain barang ini bukan hak ku.
Tapi dress ini sangat indah dan lembut, aku begitu menyukainya selain karena warnanya yang tidak terlalu mencolok, aku juga sangat menyukai ornamen di bagian bawah dress. Bordirannya begitu rapi dan indah menambah kesan manis pada dress yang sedang aku pegang ini. Ku lirik tas yang masih di dalam gift box, ku sentuh permukaan tas tersebut. Meskipun aku tidak terlalu menyukai modelnya tapi kalau tas ini di pakai tetap saja terlihat mahal dan berkelas. Dan sepatu, sepatu dengan merek stuart weitzman, bohong kalau aku tidak ingin memilikinya.
"Ya, ampun Mbak Dina. Aku pikir di dalam gak ada orang. Dari tadi aku teriak-teriak mengucapkan salam tidak ada yang jawab." Qina datang secara tiba-tiba dengan buah tangan yang cukup merepotkan, dia sampai menubruk kaki meja ketika berusaha menyimpan barang bawaannya.
"Bawa apa Qin?" Tanyaku tanpa berniat untuk membantunya. Qina duduk di sampingku dan meletakkan parcel buah yang cukup besar di atas meja.
"Sudah jelas ini buah, pake nanya lagi! Kenapa sih Mbak gak bilang kalau Ibu sudah pulang ke rumah, tau gitu aku langsung saja datang ke mari tanpa harus repot-repot ke rumah sakit segala." Nada bicara Qina terdengar jengkel. Bisa ku bayangkan bagaimana repotnya Qina datang ke rumah sakit dengan membawa parcel buah yang ukurannya tidak kecil. Aku sampai tertawa membayangkannya.
"Tertawa aja terus." Qina cemberut tidak suka di tertawakan olehku, tapi kemudian dia tersenyum dengan mata berbinar-binar kala melihat barang pemberian Fere yang belum sempat aku masukkan.
"Ini apa Mbak?" Dia mengambil dress koleksi mango.
"Bukan apa-apa." Jawabku cepat sambil merebut dress dari tangan Qina dan memasukkannya kedalam gift box lalu memindahkannya.
"Jangan bohong, aku tau Mbak Dina habis berbelanja di Faddist butik. Uang bonus yang di berikan Mbak Santi pasti sangat besar sampai Mbak Dina bisa berbelanja barang-barang mahal ini. Kenapa tidak ajak-ajak aku sih Mbak?" kali ini Qina membuka box sepatu dan dia sempat tercengang beberapa saat, "Wow... Ini-ini tidak salah Mbak." Dia mengelus sepatu stuart weitzman dan mencobanya tanpa sempat aku cegah.
"Cantik sekali. Apa Mbak Dina tahu harga sepatu ini?" Aku menggeleng.
"Yang pasti satu tahun gaji kita tidak akan cukup untuk membeli ini." Jawab Qina lalu merebut tas yang masih di dalam box. "Aku boleh mencobanya." Dia memakai tasnya lalu berjalan mondar-mandir layaknya model.
"Qina cukup. Sekarang juga kembalikan barang-barangnya." Aku berubah panik, bagaimana tidak ini bukan milikku dan aku harus mengembalikan pada yang punya.
"Pelit amat sih Mbak."
"Aku bukannya pelit tapi barang-barang ini memang bukan milikku."
"Lalu milik siapa?" Qina menyerahkan tas yang langsung aku masukan kembali kedalam gift box.
"Milik seseorang. Sepatunya buka?"
"Seseorang pemilik faddist butik?" Aku mengangguk sambil memasukkan tiga gift box kedalam paper bag berlogo faddist butik.
"Seorang pria tua bernama Indrayana... Indrayana apa ya, aku lupa... Mbak Dina berkencan dengannnya?" Qina membalik tubuhku supaya menghadap dirinya, dia memasang muka kaget dan membelalakkan matanya.
"Sttt..." Ku tempelkan telunjuk di bibirku, "jaga ucapan kamu. Aku tidak mungkin berkencan dengan suami Ibu lily. Ini... Ini dari keponakannya Om Indra." Jawabku berbisik, aku tidak ingin ada orang lain yang menguping pembicaraan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...