35

11.3K 644 5
                                    

Dina POV

Ini makan malam pertama kami setelah Fere dengan kedua orangtuanya saling memaafkan. Fere tidak banyak bicara, dia hanya mengiyakan atau berkata tidak ketika kedua orangtuanya bertanya sesuatu. Ia terkesan dingin dan seolah belum bisa menerima kenyataan, tapi aku yakin di dalam hatinya tidak demikian. Fere hanya masih bingung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap karena hal ini sangat baru baginya.

"Betul kamu tidak suka masakan pedas?" Tante Nurah meletakan semangkuk sayur diatas meja lalu menatap Fere.

"Ya," setelah mendengar jawaban Fere ia pergi kearah pantry dan kembali dengan membawa salmon belly fillet

"Dina bilang kamu sangat suka ikan tapi yang tidak ada durinya?"

"Ya," Ia kembali meninggalkan meja dan datang dengan membawa omelet.

"Omelet adalah menu wajibmu?"

"Ya," Ia hendak meninggalkan meja makan dan kali ini di cegah Fere.

"Ma cukup!" Fere memegang pegelangan tangan ibunya dan menatapnya sayang. "Aku tidak butuh apa-apa lagi," ia kemudian menggenggam tangan ibunya.

"Maafkan mama sayang, mama sangat gugup... ini pertama kalinya kita makan bersama." Ia membalas genggaman tangan Fere.

"Duduklah Nurah," ayah mertuaku malah terlihat lebih tenang, mungkin karena ia soorang Dokter yang telah terbiasa menampilkan wajah tenang tanpa ekspresi.

"Well, mamamu tidak bisa masak jadi untuk malam ini kamu tidak keberatankan makan masakan restoran?" aku mengedipkan mata kearah Fere dan langsung mendapat protes dari Tante Nurah.

"Hai... yang masak chef Hadi langsung. Mama yakin Fere akan menyukainya."

"Tapi tetap saja Fere lebih suka masakan buatanku ma," gumamku yang rupanya terlalu keras sampai di dengar semuanya.

"Kalau begitu kenapa kamu tidak datang lebih awal dan membuat makan malam untuk kami?"

"Kalau aku datang lebih awal, bagaimana dengan Fere?"

"Dia bisa menyusulmu kemari,"

"Fere tidak akan mau,"

"berkunjung ke rumah orangtua sendiri kok tidak mau?"

Dan meledaklah tawa Dokter Piere beserta Fere, menertawakan pertengkaran kami. Bahkan Dokter Piere sempat menyinggung soal keberanianku menghadapi Tante Nurah.

"Memangnya aku sejahat itu?" Protes Tante Nurah tidak terima, "aku kan hanya menginginkan yang terbaik untuk anak kita, makanya aku meminta Dina melakukan beberapa test." Tante Nurah membela diri dan dengan sedikit cemas ia menatap putranya yang terlihat biasa-biasa saja ketika mendengar pengakuannya.

Ditelitinya wajah Fere dan bertanya, "kamu tidak marah Re?"

"Dina sudah menceritakan semuanya," mendengar jawaban tenang Fere, Tante Nurah menghembuskan napas lega dan kali ini tatapannya beralih padaku, aku langsung waspada.

"Sungguh Dina, aku benci mengakui kalau kau menantu yang sangat sempurna." Begitulah cara Tante Nurah memberi pujian.

Dan suasana kaku mencair seketika ketika kami saling berbicara satu sama lain, bahkan Fere yang biasanya lebih suka menyimak dan pelit bicara ikut mengolok-olokku. Dia tidak segan-segan menceritakan perjalanan kami ke Thailand beberapa waktu lalu dibumbui dengan kelakuan konyolku,

"apa Papa tahu ketika pertama kali kami menginjakkan kaki di Chiang Mai Dina cukup antusias awalnya, tapi setelah dia tahu aku membawanya ke Chiang Mai bukan ke Bangkok, dia langsung diam dan berpura-pura tidur sampai kami tiba di hotel."

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang