36

11.3K 666 25
                                    

Dina POV

Tidak ada seorangpun yang mengejar diriku ketika aku berlari keluar dari rumah yang beberapa bulan terakhir ini menjadi istana kebahagianku. Tidak bisa ku pungkiri, aku memang bahagia menikah dengan Fere, tapi setelah mengetahui semua yang dilakukannya untuk bisa bersamaku jelas aku sangat kecewa.

Fere seolah tidak peduli pentingnya arti sebuah keluarga bagiku, ia bahkan tidak peduli aku bisa saja kehilangan nyawa satu-satunya wanita yang aku sayangi. Walaupun pada kenyataannya ibu masih hidup sampai sekarang, tapi tetap saja perlakuan Fere terhadapnya tidak bisa dibenarkan! Bagaimana seandainya ibu meninggal karena ulah Fere?

Selama ini aku telah berusaha membantu Fere supaya bisa keluar dari kehidupannya yang rumit, sekuat tenaga aku membantu Fere untuk meraih kebahagiannya dan pengorbananku hanya dibalas dengan kebohongan yang tidak mungkin bisa ku maafkan.

Air mataku kembali mengalir dan membuat si sopir taksi yang hendak mengantarkanku ke rumah ibu menatap kaca spion berkali-kali hanya untuk memastikan penumpangnya dalam keadaan baik-baik saja. Dan dia sempat menatapku penuh tanda tanya ketika aku membayar argo taksi sambil menghapus air mata yang tidak mau berhenti, melihat kondisiku yang kacau balau dia  sempat menanyakan keadaanku yang langsung aku jawab baik-baik saja meski keadaan yang sesungguhnya tidak demikian.

Hari sudah semakin sore ketika aku sampai dirumah ibu, rumah masa kecilku yang menjanjikan kebahagian utuh bagiku, rumah yang selalu aku rindukan. Tapi dengan adanya masalah ini aku tidak berani masuk kedalam, aku tidak sanggup menatap wajah lembut wanita yang aku sayangi bersedih karena kejadian ini. Ibu akan sangat terpukul jika mendengar aku meninggalkan Fere karena aku tidak bisa menerima perlakuan Fere terhadap dirinya.

Nyawa ibu terlalu berharga untuk ditukar dengan suatu kebohongan, ketulusan yang ibu tunjukkan membuat hatiku sakit jika mengingat semuanya. Ibu adalah wanita yang tidak ingin aku kecewakan sedikitpun.

"Teh Dina," tiba-tiba pintu terbuka dan keluarlah Karni dengan membawa kantong sampah, "kenapa tidak masuk kedalam Teh?" Karni sempat menatapku sesaat, dia mungkin heran melihat keadaanku, aku bahkan tidak berniat menghapus sisa air mataku.

"I-ibu...Ibu ada Kar?" Sedikit terbata aku bertanya padanya,

"ada di belakang, seperti biasa ibu tidak bisa diam berpangku tangan padahal ibu baru sembuh dari sakit." Karni yang setiap hari menemani ibu tahu betul tabiat ibu yang sering kali merasa tidak nyaman kalau tidak mengerjakan sesuatu.

Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa kangen berada di pelukan ibu yang selalu menenangkan. Ku tinggalkan Karni yang mungkin saja masih menebak-nebak apa yang sedang terjadi pada diriku sampai aku datang kerumah ibu seorang diri tanpa di temani suamiku.

***

Ku lihat ibu duduk di bale-bale dan sedang mengupas bawang, pekerjaan rutin yang selalu dilakukannya dan biasanya ibu selalu ditemani salah seorang penghuni yayasan, tapi kali ini tidak ada seorangpun yang membantunya.

Melihat ibu yang begitu ringkih dan lebih kurus, jantungku terasa ditusuk, terlebih lagi aku mengingat pengakuan Fere yang aku dengar beberapa jam lalu membuat hatiku pedih, tanpa bisa di cegah air mata ini terus mengalir.

"Ibu..." Panggilanku membuat ibu menoleh, ia tersenyum dan melambaikan tangannya menyuruhku untuk mendekat.

Perlahan senyuman yang menyejukan milik ibu menghilang ketika melihat air mataku mengalir, wajahku sembab karena banyak menangis dan aku tidak bisa menyembunyikannya dihadapan ibu.

"Ada apa?" penuh kekhawatiran ibu bertanya.

"Ibu..." Tanpa dikomando aku langsung memeluknya dan merasakan pelukan hangatnya.

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang