Fere POV
Sial, karena ulah Dina, malam ini aku tidak bisa mempermalukan Piere Abramo yang sedang mengadakan pesta ulang tahun ke empat puluh rumah sakit yang di kelolanya. Harusnya aku datang bersama Dina dan menemuinya di aula rumah sakit untuk mempermalukannya.
Aku sempat membayangkan wajah shock Piere Abramo ketika melihat siapa orang yang aku bawa. Piere Abramo pasti akan sangat terpukul melihat Dina yang begitu mirip dengan wanita masa lalunya, wanita yang ia khianati.
Tapi gara-gara insiden kecil yang aku lakukan. Semua rencana yang telah aku susun hancur berantakan. Seandainya aku bisa menahan sedikit saja emosiku mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini, Dina tidak akan memberiku pilihan yang sama beratnya.
Aku tidak suka orang lain mendikte diriku apa lagi mengguruiku dan menganggap semua yang aku lakukan salah dimatanya. Seperti yang dilakukan Dina beberapa jam lalu, terasa asing dan aneh dan yang lebih mengherankannya aku malah memikirkan semua perkataannya.
Kuangkat telepon dan meminta karyawan HRD mengantarkan CV dari karyawan yang aku pecat barusan. Tidak membutuhkan waktu lama CV bernama Rini Amalia telah ditanganku, ku baca dengan teliti dan mendapatkan fakta yang selama ini tidak ku ketahui. Rini seorang yatim piatu dengan tanggungan hidup Nenek dan dan dua orang adiknya. Dia menggantungkan hidup pada gaji yang di dapatnya. Bagaimana nasib keluarganya setelah aku memecatnya? Akan mencari pekerjaan kemana lagi dia dengan ijazah SMU nya?
Sialan kau Dina, kenapa kata-katamu begitu menohok hatiku!
Aku mengerang dan mengusap rambutku beberapa kali berusaha menyangkal kebenaran dari ucapan Dina. Bukan kesalahanku kalau hidup mereka menderita! Untuk apa aku peduli pada semua orang sementara mereka tidak pernah peduli terhadap penderitaanku.
Aku berjalan kearah pintu kaca yang selalu terbuka. Pintu kaca yang memisahkan bagian dalam dan luar ruangan, kutatap kolam ikan kecil yang ada di luar ruangan. Aku tersenyum sinis sambil merutuki kebodohan si arsitek yang telah membuat kolam ikan dilantai tiga.
Aku berdiri dan menatap ikan-ikan kecil yang tidak kenal lelah saling berkejaran. Hidup mereka tidak rumit, asal ada orang yang memberinya makan mereka bisa bertahan hidup. Kuambil sebuah toples berisi pakan ikan dan mulai memberi mereka makan, semua ikan bergerombol di dekat kakiku melahap apa yang aku berikan.
Tiba-tiba saja aku berpikir dan menganalisa semuanya. Kehidupan semua karyawanku tergantung pada diriku, seperti ikan-ikan itu yang menggantungkan hidupnya pada orang yang memeliharanya. Kututup toples dengan kasar dan melemparnya secara asal. Aku tidak ingin memikirkan semua ini!
Kembali aku berjalan menuju meja kerja dan menatap barang-barang yang tadi sempat di bawa Dina masih tergolek di meja kerjaku. Bayangan wajah Dina yang memohon membuat aku semakin merasa bersalah padanya apa lagi ketika dia tahu bahwa bukan aku yang mengantarnya pulang. Kecewa dan sedih itulah yang ditunjukan Dina.
Ku hampiri lemari es berukuran medium yang terletak di pojok ruangan, ku ambil botol anggur berkadar alkohol tinggi lalu meneguknya secara langsung. Rasa manis, pahit dan panas membakar tenggorokanku, dan turun ke perut. Semunya jauh lebih baik setelah aku meminum minuman beralkohol yang sudah lama tidak ku sentuh.
Pusing dan lemas aku rasakan setelah, terhuyung-huyung aku berjalan kearah sofa dan menjatuhkan diri di sana, aku tersungkur dan tidak ingat apa-apa lagi. Kemungkinan aku pingsan.
Matahari pagi menerobos masuk lewat pintu kaca yang terbuka membuat tubuhku hangat, tapi aku merasakan silau yang amat sangat, maka ku tutup mataku dengan menggunakan lengan dan kembali tertidur.
Tidak berapa lama seseorang mengguncang tubuhku dan terus menerus memanggil namaku. "Woi... Bangun... Re, udah siang... Bangun."
Ku turunkan lenganku dan dengan perlahan aku membuka mata sedikit demi sedikit, silau dan pening mulai menyerangku. Aku tidak ingat seberapa banyak aku minum? Sebuah bayangan hitam duduk di depanku dan mengguncang tubuhku kembali. Lambat laun aku bisa melihat sosok Rio dengan jelas.
"Sejak kapan kau berada di sini?" Ku paksakan diri bangun dari tidurku dan duduk dengan punggung bersandar pada sofa.
"Beberapa menit lalu, setelah Om Indra meneleponku dan menyuruhku melihat keadaanmu." Aku tahu salah satu karyawan pasti melaporkan kejadian semalam pada Om Indra. Mereka semua mata-mata yang cukup handal, sampai aku tidak bisa bersembunyi. Dimana pun aku berada Om Indra selalu tahu keberadanku.
"Selalu, kapan dia akan berhenti mencampuri urusanku!"
"Dia akan selalu pasang badan untuk melindungi keponakannya yang labil seperti dirimu."
"Heh..."
"Sebenarnya masalah apa yang sedang kau hadapi sampai kau mabuk-mabukan seperti ini?" Rio menjatuhkan badannya di sampingku, "apa karena Dina?" Dia menyenggol bahuku dengan bahunya. Pertanyaan yang begitu mengena di hatiku.
Dina... Ketika nama itu di sebut aku langsung melotot pada Rio yang sedang menahan tawa.
"Apa orang tuamu?" Lanjutnya berpura-pura tidak menyadari kekagetanku.
"Dua-duanya bodoh! Sana pergi belikan aku triple shoot espresso. Aku mau mandi."
"Kopi?"
"Bukan... Juice."
"Latte."
"Espresso."
"Americano."
"Espresso."
"Baiklah, aku nyerah. Sekarang mamdilah. Kita akan membicarakan masalah ini sambil sarapan." Dan Rio benar-benar pergi meninggalkanku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...