Pada hari yang sama ditempat lain yang berbeda, seorang pria arogansi memiliki sebuah ide, ide yang tidak terpikirkan oleh siapapun. Ide yang bisa membuat wanita dengan harga diri tinggi itu datang padanya.
***
ARDINA LUNA, nama yang begitu sederhana tapi penuh makna, nama yang tidak bisa dilupakannya sejak pertemuan pertama mereka, nama wanita yang sukses memporak-porandakan hatinya, nama wanita yang dapat menghancurkan moodnya seketika, nama wanita yang selalu mengganggu pikirannya dalam dua mingggu belakangan ini. Hanya dengan menyebut namanya saja jantungnya sudah berdetak lebih kencang dari biasanya.
ARDINA LUNA, wanita yang dianugrahi wajah sempurna bak bidadari surga, dengan memejamkan matanya saja sosok wanita cantik itu muncul dengan segala pesona yang dimilikinya. Wajahnya begitu alami tanpa polesan make up berlebihan, rambutnya yang hitam legam tergerai indah melewati bahunya, bibirnya yang merah alami membuat siapapun ingin melumatnya merasakan kelembutannya,semua yang ada pada dirinya sama sempurna dan anggunnya seperti semua garis wajahnya. Matanya yang besar dan berbentuk almond menjanjikan derai tawa namun pada saat bersamaan membisikkan suatu kelembutan, meluluhkan dan menggoda. Mata berwarna dark brown itu mengingatkan dia pada sosok wanita lain, wanita dimasa lalunya, wanita yang telah membuatnya menderita dan merasa tidak dicintai oleh siapapun, wanita yang meninggalkannya di saat dia membutuhkan kasih sayangnya, wanita egois yang hanya meratapi kesedihannya tanpa pernah memikirkan ada seseorang yang masih membutuhkannya, wanita yang tidak menginginkannya hidup di dunia ini.
Dia benci mata itu, mata almond berwarna dark brown yang memancarkan rasa optimisme tinggi, mata almond yang memperlihatkan kepolosan dan kejujuran, mata almond yang begitu dibencinya sekaligus dirindukannya. Tidak bisa di pungkiri kalau dia sangat merindukan mata itu, mata yang hanya bisa dijumpainya di alam mimpi, mata yang sama dengan mata milik wanita di masa lalunya.
***
Hangatnya matahari pagi menerobos masuk melalui kaca-kaca jendela kantornya, membuat ruangan yang luas dan tertata apik itu menjadi lebih terang dan hangat. Suasana indah di pagi hari tidak seindah nuansa hatinya, dia begitu gundah dengan moodnya yang naik turun.
Hampir semalaman dia berada diruangannya, memikirkan bagaimana cara untuk bisa mendapatkan wanita yang dijumpainya dua minggu lalu itu. Wanita yang menyita seluruh perhatiannya, wanita yang mampu melumpuhkan hatinya yang membeku. Wanita sialan yang dianugrahi senyuman indah nan menggetarkan.
Dia menelungkupkan wajahnya diatas meja, merasa frustasi dengan apa yang terjadi dua minggu belakangan ini. Dua minggu sudah dia memberikan kartu namanya, berharap si wanita menghubunginya, tapi dua minggu telah berlalu dan si wanita tidak menghubunginya sama sekali, penantian yang sia-sia.
Dia kembali menegakkan punggung dan bersandar pada sandaran kursi kerjanya yang nyaman, dia memejamkan matanya dan mengerang frustasi. Ardina Luna harus mempertanggungjawankan semua pesona yang di milikinya. Dia harus bertanggung jawab penuh atas emosinya yang sering kali naik turun.
Ditengah kegelisahannya dia menghubungi seseorang melalui telepon di meja kerjanya, seorang asisten pribadi yang telah bekerja padanya selama beberapa bulan belakangan ini. Dan tidak berapa lama si asisten pribadi datang dengan menenteng sebuah map berwarna biru ditangannya, dia mengangguk hormat pada atasannya dan berdiri tepat di depan meja sang atasan.
"Aku membutuhkannya, apa kau sudah menyelidiki semuanya?" Pertanyaan yang dingin dan penuh wibawa membuat siapapun akan tertunduk hormat.
Tanpa banyak bicara si asisten langsung menyodorkan map biru yang dari tadi di pegangnya.
"Tolong ceritakan secara terperinci tentang penyelidikanmu selama ini." Dia sama sekali tidak berminat menyentuh map itu apalagi membacanya.
"Namanya Ardina Luna, itu yang saya tahu selama penyelidikan berlangsung. Dia anak kedua dari tiga bersaudara, kakak perempuannya seorang janda beranak satu, kalau tidak salah anaknya masih balita berusia sekitar empat sampai lima tahun. Adik Laki-lakinya berusia dua puluh sampai dua puluh dua tahun, sekarang ini dia sedang menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas ternama dengan beasiswanya. Sementara Ardina Luna sendiri memilih bekerja part time setelah menyesaikan pendidikannya, mereka semua tinggal satu atap dengan Ibunya karena sang Ayah telah lama meninggal dunia tepatnya tiga belas tahun lalu." Mendengar penjelasan Asistennya, pria arogan itu sedikit mengangguk dan tersenyum licik.
"Untuk lebih jelasnya, Bapak bisa membaca laporan yang telah saya rangkum."
Tanpa banyak bicara dia langsung membolak-balik isi laporan yang hanya beberapa lembar itu, dia tidak terlalu tertarik pada hasil laporannya tapi dia cukup tertarik dengan CV si wanita yang sedang diincarnya itu. "Lulusan universitas Buana, jurusan Ilmu Sosial." gumamnya, dan kalau melihat hasil akhir yang didapat, sepertinya dia bukan wanita yang cerdas karena dia baru menyelesaikan pendidikannya di tahun keenam.
"Iya, Pak. Dia terlalu sibuk mengurus Yayasan peninggalan ayahnya sehingga mengesampingkan pendidikkannya sendiri."
"Yayasan?" Pria itu menautkan kedua alisnya, tanda tidak mengerti.
"Iya, Pak. Yayasan sosial yang dibangun ayahnya sebelum meninggal dunia. Yayasan sosial yang dimana para penghuninya membutuhkan tempat tinggal dan penghidupan yang layak."
Dengan senyum yang tidak dapat diartikan, pria itu menyatukan kedua tangannya dengan menopang sikunya pada meja kerjanya.
"Yayasan..." Seperti mendapatkan ide yang sangat brilian, pria itu menatap sang asisten, "Kita bisa mulai dari Yayasan yang dimilikinya supaya wanita itu datang padaku."
"Saya rasa tidak akan semudah itu Pak. Yayasan memang cukup berharga untuknya, tapi Bapak memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa mendapatkan hati wanita itu." Si pria tersenyum masam, dia tidak bisa menerima idenya ditolak asistennya sendiri.
"Apa kau punya ide yang lebih baik lagi daripada ideku!" Tanyanya ketus.
"Ada banyak cara supaya dia dengan suka rela menyerahkan diri pada Bapak." Dengan seksama si pria mendengarkan asistennya melanjutkan kata-katanya,
"caranya?"
"Ibunya sedang sakit dan beliau dirawat di rumah sakit. Saya rasa Bapak bisa memulai dari sana karena saya dengar dari beberapa orang yang bekerja di rumah sakit, Ibu Ardina Luna mengalami gagal ginjal dan harus sesegera mungkin melakukan operasi." Penjelasan yang cukup panjang lebar itu tidak bisa membuat pria tampan itu mengerti.
"Lalu apa hubunganku dengan penyakit ibunya!" Bentaknya pada orang yang sedang berdiri di depannya tersebut.
"Tidak ada Pak, sama sekali tidak ada. Tapi Bapak bisa membuat wanita incaran Bapak itu datang kemari dan meminta bantuan Bapak. Karena saya dengar biaya untuk operasi ibunya jumlahnya tidak sedikit."
Dia ingin sekali berdiri dan memeluk asistennya kalau dia tidak langsung menyadari siapa dirinya.
"Kapan operasinya dilakukan?" Karena dia yakin Ardina Luna tidak akan punya uang sebanyak itu.
"Kurang dari tiga minggu, Pak. Dokter yang menanganinya menunggu kesiapan dana si pasien."
"Aku ingin operasi dilakukan secepatnya. Buat ibunya anfal sekarang juga, tapi jangan sampai meninggal karena kalau ibunya meninggal dia tidak akan datang padaku."
"Maaf Pak, tapi..."
"Lakukan atau kau saya pecat!" Ancaman yang cukup dingin.
"Baik, Pak. Bapak bisa menunggu kabar dari saya." Jawabnya lesu, meski begitu dia tetap menunduk hormat.
Pria maskulin dengan arogansi tinggi tersebut tersenyum penuh kemenangan karena pada akhirnya wanita itu akan datang mencarinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...