Takdir sedang bermain-main dengan dirinya, ia tidak diijinkan Tuhan untuk bertemu dengan belahan jiwanya sebelum ia pergi. Harapannya pupus sudah tidak ada jalan untuk bertemu dan mengucapkan kata maaf.
Dengan lesu Fere menyeret kopernya memasuki sebuah kamar yang paling ujung di resortnya. Kamar yang paling luas dan nyaman diantara kamar-kamar lainnya akan kembali menjadi tempat tinggalnya dalam kurun waktu tidak bisa di tentukan, ia tidak menyangka akan datang dan tinggal di sini kembali.
Semenjak mengenal Dina dan hidup dengannya, tidak sedkitpun terbersit dipikiran Fere untuk kembali hidup menyendiri, meninggalkan orang-orang yang mulai ia sayangi, meninggakan orangtua yang baru dikenalnya, meninggalkan semua rutinitasnya setiap hari. Kalau boleh memilih ia tidak ingin berpisah dengan mereka semua, tapi jika ia tetap tinggal satu kota dengan Dina ia tidak akan bisa bertahan hidup.
Ditariknya napas panjang sebelum memasukkan kunci dan membuka pintu, ia sempat mengerutkan dahinya heran karena pintu kamarnya tidak terkunci tapi kemudian ia tidak peduli dan lebih memilih menyeret kopernya uasuk kedalam.
Betapa lelahnya ia setelah tadi bolak balik antara rumah sakit dan rumah Dina dan kembali lagi ke rumah sakit lalu bandara ditambah lagi ia telat datang dan harus menggunakan pesawat berikutnya. Badannya belum fit seratus persen, tanpa pikir panjang ia langsung merebahkan diri diatas tempat tidur yang empuk dan nyaman. Ditatapnya langit-langit kamar sambil memikirkan apa yang hendak ia lakukan selanjutnya? Bertahan tinggal disini dan melupakan semuanya atau kembali ke Bandung dan memulai kehidupannya. Entahlah, ia belum memikirkan apapun.
"Aku pikir, kamu akan datang ke rumah dan menjemputku untuk ikut pulang bersamamu."
Suara itu...suara wanita yang sangat dirindukannya, suara yang tidak mungkin ia lupakan seumur hidupnya, suara Dina. Fere terkesiap, ia langsung terduduk dan mencari dimana suara itu berasal.
"Di... Dina," setengah tidak percaya ia menatap wanita yang sedang berdiri dihadapan jendela dengan rambut berkilau terkena sinar matahari sore yang masuk. Beberapa kali ia menelan ludahnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya berharap ini bukan mimpi.
"Aku nyata pria bodoh!" Dina menghentakkan kakinya sedikit jengkel,
"Ba...bagaimana bisa. K-kamu berada di sini?" Fere bangkit dan duduk sebentar kemudian berdiri tanpa berani mendekati Dina.
"Kau melupakan ibumu, dia bisa melakukan apapun supaya aku cepat sampai di sini." Dina tersenyum dan membayangkan kembali perjalannya kemari dengan difasilitasi jet pribadi yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja.
"Ah, ya. Aku lupa." Fere masih saja linglung.
Dina yang berjalan mendekati Fere selangkah demi selangkah dan berdiri tepat dihadapannya, "Apa pelupa adalah efek dari obat yang diberikan rumah sakit?" Fere mematung dan menatap Dina secara intens.
"Karena itu pulalah kamu lebih memilih melarikan diri kesini dibanding menjemputku di rumah Ibu. Karena efek obat rumah sakit pulalah yang membuatmu jadi seorang pengecut!"
"Din...na." Fere lebih memilih menghindari kontak mata dengan istrinya, lidahnya menjadi kelu dan ia tidak bisa mengucapkan apapun selain nama Dina dengan terbata.
"Kenapa pria pengecut ini harus menjadi suamiku! Oh, Ya Tuhan. Aku lupa kalau suamiku ini orang yang..." Dina tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena mulutnya dibungkam dengan ciuman Fere yang terasa panas dan penuh kerinduan. Fere mencium Dina dengan rakus seolah esok atau pun lusa ia tidak bisa menciumnya lagi.
"Aku merindukanmu," Setelah puas akhirnya Fere melepaskan ciuman dan menatap bola mata Dina dengan perasaan membuncah.
"Kamu jahat Re, kenapa harus selalu aku yang datang lebih dulu dan meminta maaf padamu!" Dipukulnya dada Fere dengan kedua tangannya yang langsung ditangkap Fere.
"Maafkan aku sayang, maafkan aku yang telah membuatmu menunggu seperti ini." Dengan tulus Fere meminta maaf dan memeluk Dina erat serat akan kerinduan.
"Aku yang salah, aku yang seharusnya meminta maaf padamu lebih dulu."
"Kalau begitu kenapa tidak kau lakukan!"
"Seperti yang kamu bilang, aku terlalu pengecut dan lebih memilih melarikan diri."
"Bodoh! Dengan berbuat seperti itu tidak akan menyelesaikan apapun."
"Aku tahu, aku minta maaf." Fere bersungguh-sungguh dengan permintaan maafnya.
"Maafmu tidak tulus." Jawab Dina ketus.
"Lalu apa yang harus aku lakukan supaya permintaan maafku terlihat tulus?"
Dina tersenyum jahil yang langsung diwaspadi Fere, "berlututlah dan mintalah maaf dengan tulus."
"Baiklah," Fere membungkukkan badannya seolah hendak berlutut tapi kemudian ia memegang kedua sisi pinggang Dina dan menggendongnya meuju tempat tidur.
"LEPASKAN AKU! HEI, LEPASKAN!" Dina meronta, sempat membuat Fere kewalahan yang akhirnya menjatuhkannya keatas tempat tidur dan menindihnya.
"Kamu tahu, aku begitu merindukanmu." Dikecupnya leher Dina bertubi-tubi membuat Dina menggeliat kegelian.
"Sial! Hentikan. Aku belum siap." Sekuat tenaga Dina mendorong badan Fere sampai tubuh Fere terguling kesampingnya dan dengan cepat Dina bangkit lalu turun dari tempat tidur.
"Kenapa? Seingatku aku belum pernah menjatuhkan talak apapun padamu."
"Bukan begitu... Aku... Aku... Belum sempat mandi dari tadi pagi." Dan Dina berlari kearah kamar mandi.
Fere tertawa, tawa pertamanya setelah ia terbangun dari koma dan lagi-lagi Dina yang mampu membuatnya tertawa. "Hai tunggu,"
Dina menghentikan langkahnya tepat di depan pintu.
"Bolehkah aku ikut mandi denganmu?" Kali ini Fere memohon walaupun harapannya sangat tipis, dia tidak mungkin menerima begitu saja syarat apapun.
Dan Fere terbelalak tidak percaya ketika melihat Dina membuka t-shirt yang dipakainya yang hanya menyisakan bra putih dengan potongan setengah cup. Payudara Dina masih tetap sama ketika ierakhir kali ia melihatnya bulat dan menantang.
Ia sempat menelan ludahnya ketika Dina dengan sengaja melemparkan t-shirt kearahnya sebagai tanda undangan.
"Aku tidak akan membiarkanmu istirahat walau hanya sebentar!" Fere melompat dari tempat tidurnya dan menyusul Dina masuk kedalam kamar mandi.
"Aku punya bathtub yang cukup luas untuk dipakai kita berdua. Oh, tidak-tidak kita tidak membutuhkan itu karena aku bisa memangkumu!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...