18

52.6K 1.9K 57
                                    

Dina POV

Fere melajukan mobilnya menuju arah utara kota. Entahlah dia akan membawaku kemana, yang bisa aku lakukan sekarang hanya diam sambil sesekali mengingat jalan yang kami lewati. Aku harus tetap berjaga-jaga supaya kalau Fere akan melakukan sesuatu atau berencana meninggalkanku disuatu tempat yang tidak ku ketahui. Aku bisa kembali pulang dalam keadaan selamat.

Tapi tidak berapa lama Fere membelokkan mobilnya menuju sebuah butik yang beberapa minggu lalu sempat aku lalui bersama Qina. Aku dan Qina hanya bisa mengagumi barang branded yang di pajang di etalase, tanpa berani untuk masuk karena kami tahu barang yang dijual di Faddist butik ini tidak akan mampu kami beli.

"Sudah sampai turunlah," Fere membuka seatbeltnya lalu membuka pintu mobil dan mengitari mobilnya, membukakan pintu untukku. Sungguh kejadian ini langka untukku, seumur-umur aku belum pernah dibukakan pintu mobil oleh siapapun.

Tapi aku mulai tersadar, aku tidak boleh terbuai dengan sikap manis Fere. "Apa tujuanmu membawaku kamari?" Apa penampilanku semenyedihkan itu sampai Fere membawaku kesebuah butik ternama.

"Malam ini juga kita akan menemui seseorang. Berdandanlah yang layak meski aku tidak peduli dengan apapun yang kau pakai." Menyebalkan sekali ucapan Fere, penampilanku memang sederhana dan tidak istimewa tapi setidaknya ucapkan sesuatu yang enak untuk di dengar.

Atau jangan-jangan Fere malu mengenalkanku pada teman-temannya yang high class sehingga dia membawaku kemari hanya untuk merubah penampilanku.

Aku tersenyum kaku dan turun dari mobil, berdiri di sampingnya dan mengira-ngira apa aku cukup pantas mendampinginya? "Aku pernah sekolah kepribadian, meskipun hanya beberapa bulan saja. Jadi kamu tidak usah khawatir aku akan mempermalukanmu dihadapan teman-temanmu yang kaya itu!"

"Siapa yang peduli." Fere menarik tanganku untuk pergi meninggalkan lahan parkir. Menjengkelkan sekali berbicara dengannya.

Tepat di depan pintu, aku sempat ragu untuk masuk. Betapa tidak pantasnya aku masuk kedalam butik mewah ini, lihatlah pakaian yang aku kenakan terlalu sederhana dan murah dan alas kaki... Aku hanya memakai sandal yang biasa aku gunakan sehari-hari di rumah. Bukan merek stuart weitzman atau Gucci hanya sandal biasa yang mampu aku beli ketika diskon hingga tujuh puluh persen.

Sesaat aku diam dan menarik tanganku dari genggaman Fere. Langkah kami sempat terhenti, seketika itu juga Fere menatapku kesal.

"Aku-aku tunggu disini saja." Ucapku hati-hati, dan melalui ekor mataku aku sempat melihat kedalam butik yang tidak pernah ku masuki sekalipun.

"Kenapa?" Perubahan nada suara Fere membuat telapak tanganku menjadi dingin. Aku mulai waspada terhadap apapun yang akan dilakukan Fere. "Kantorku ada didalam sana." Lanjut Fere.

"Tapi..." Keberadaan kami yang berdiri tepat dipintu masuk menjadi pusat perhatian sebagian pengunjung.

"Sudah aku tegaskan. Aku tidak peduli dengan apapun yang kau pakai!" Dan kali ini Fere benar-benar menarikku masuk kedalam butik.

Fere memang bukan kekasihku, dia hanyalah seseorang yang membayarku, seseorang yang terpaksa bersama karena sebuah perjanjian. Jadi sangat wajar kalau dia menarik tanganku dengan kasar. Bukan-bukan karena aku ingin digandeng seperti beberapa orang pasangan yang aku temui sepanjang Fere menarik tanganku. Tapi aku hanya ingin Fere melonggarkan sedikit saja cekalan di pegelangan tanganku.

"Fere, tolong..." Aku terus mengikuti kemana Fere akan membawaku sambil tetap berusaha menarik tanganku dari cekalannya.

Fere berhenti tepat di sebuah ruangan yang menurutku sangat besar dan indah, dimana pakaian-pakaian mahal dengan merek tertentu tergantung rapi. Disudut lain sederet sepatu dan sandal tertata apik dan di belahan lainnya tas beserta aksesoris dipajang dengan sangat menawan. Tapi aku tidak menghiraukan semua yang ada di sekelilingku, fokusku pada pegelangan tangan yang mulai berdenyut nyeri. Fere mencengkramku keras amat keras sampai aku meringis kesakitan.

Pada akhirnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang