Dina POV
Selama aku membaca surat perjanjian dan menandatanganinya Risman, asisten pribadi Fere terus menatapku. Aku tersenyum menatapnya sekilas dan menyerahkan surat perjanjian yang telah aku tandatangani.
Risman bertubuh kecil, dia tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang pria, tapi keseluruhan penampilannya mencerminkan kalau dia adalah orang yang cerdas. Terbukti dia bisa bertahan menghadapi Fere yang super menyebalkan itu.
"Pantas sekali Pak Fere begitu terobsesi padamu. Kepolosan, kesederhanaan dan keberanianmu membuat siapapun akan langsung jatuh cinta padamu."
"Ehm," Aku hanya bisa tersipu dan tersenyum gugup. "Sudah berapa lama Anda mengenal Fere?" Tanyaku tanpa menanggapi pujiannya itu.
"Panggil saja Risman, aku rasa umur kita juga tidak terlalu jauh. Aku mengenal Pak Fere sejak Pak Indra mempekerjakanku sebagai karyawannya beliau dan aku baru benar-benar mengenalnya beberapa minggu ini setelah menjadi asistennya pribadinya."
Risman begitu mudah untuk diajak berteman, dia sama sekali tidak mengintimidasiku seperti yang sering dilakukan Fere terhadapku.
"Berarti kamu juga mengenal Dikal? Seberapa dekat hubunganmu dengan keluarga Om Indra?" Rasa ingin tahuku semakin tinggi setelah Risman memperkenalkan dirinya.
"Selepas SMU aku melamar pekerjaan di perusahaan yang di pimpin Pak Indra dari situ kami mulai dekat, terlebih lagi setelah Pak Indra memberikan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan."
Seandainya Ares mendapatkan kesempatan yang sama dengan Risman mungkin sekarang ini dia tidak perlu banting tulang untuk menyelesaikan pendidikannya.
"Pak Indra sangat baik, jauh berbeda dengan keponakannya." Bisik Risman sambil mencondongkan badannya sedikit seperti sedang bergosip.
Akupun tersenyum lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Fere bukan cerminan Om Indra, dia terlalu egois untuk dikatakan keponakannya Om Indra.
"Seandainya aku kaya dan tidak membutuhkan uangnya, Mungkin sekarang ini aku sudah meninggalkannya.." Lanjutnya, "tapi semua kembali lagi pada Pak Indra. Beliau terlalu baik untuk aku tinggalkan begitu saja."
"Aku sependapat denganmu."
"Bertahanlah untuk beberapa bulan kedepan." Risman menatapku penuh simpati, dia tahu betul bagaimana sifat Fere, "tapi aku rasa kamu mampu menghadapinya. Wanita luar biasa sepertimu tidak akan mudah terintimidasi oleh pria seperti Fere." Kami berdua hanya tersenyum.
Seandainya Risman tahu, betapa aku merasa ketakutan bila berhadapan dengan Fere, tatapannya, sorot matanya dan kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat siapapun akan menunduk hormat dan melaksanakan perintahnya. Hanya saja aku tidak pernah memperlihatkan rasa takutku di hadapan siapapun.
"Baiklah, kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan saya pamit dulu."
"Ya, terima kasih atas semua bantuannya." Risman tersenyum dan menjabat tanganku sedikit erat memberi semangat kepadaku.
Aku mengangguk dan tersenyum lalu kembali duduk setelah Risman keluar melewati pintu. Ku tatap dua gelas minuman yang tadi sempat dipesan Fere, belum tersentuh sedikitpun. Baik itu olehku ataupun olehnya.
Ku geser dua buah gelas yang masih tampak penuh itu kehadapanku dan mulai mengamatinya, hot chocolate souffle dan double espresso. Kopi dan cokelat perpaduan dua minuman yang sama-sama pahit kalau tidak memakai gula sebagai pemanisnya, begitupun dengan kehidupanku selama ini begitu pahit dan menyesakkan tapi mungkin tidak akan terlalu pahit seandainya suatu saat nanti aku bisa menemukan kebahagianku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...