Dina POV
Aku bergulung dengan selimut tebal, berusaha mengusir hawa dingin yang mulai menusuk kulitku, perlahan kubuka mata dan mendapati diriku masih tidur di sofa, hanya saja selimut tebal telah membungkus badanku, siapa yang telah repot-repot memberikanku selimut? Ku ubah posisi tidurku menjadi terlentang dan menatap langit-langit. Beberapa kali aku menarik napas kecewa, semalam Fere benar-benar tidak pulang, dia tidak tahu kalau aku menunggunya hampir semalaman. Mungkinkah dia sengaja menjaga jarak denganku. Oh, betapa tidak enaknya menikah!
Perlahan aku bangkit dan berjalan menuju kamar tidur, setidaknya guyuran air hangat bisa membuatku sedikit lebih segar. Aku berhenti tepat didepan pintu kamar dan menatap kaki telanjangku, Fere tidak akan suka melihat ku berkeliaran di dalam rumah tanpa alas kaki, maka dengan malas aku kembali kearah sofa dan mencari keberadaan sandal yang entah kemana. Dengan sedikit usaha dan melihat kanan kiri akhirnya sandal kutemukan. Kupakai dan bergegas masuk kedalam kamar untuk mandi.
***
Pagi ini belum ada yang menyentuh dapur karena aku melarangnya, tempat ini akan menjadi kekuasaanku selama aku tinggal disini. Seperti yang kemarin aku pelajari dari chef Hadi, pagi ini aku membuat sarapan untuk Fere. Kupakai apron dan mengikat talinya membuat simpul, lalu ku buka lemari es dan mengeluarkan dua butir telur kemudian memecahkannya ke dalam mangkuk dan mulai mengocoknya, ku tambahkan beberapa bumbu dan rempah seperti sarankan chef Hadi. Dan hasilnya cukup memuaskan.
Kubawa omelet buatanku ke meja makan, setelah aku membuat roti panggang untuk ku makan sendiri. Segelas air putih telah kusiapkan berdampingan dengan omelet, walaupun aku tahu Fere tidak mungkin mencicipinya karena belum pulang dari semalam.
Peelahan kugigit roti panggang dan menguyahnya dengan pelan sambil memikirkan apa yang akan aku lakukan seharian ini? Berada di rumah atau berkunjung ke rumah Ibu. Baru beberapa hari meninggalkan rumah aku sudah kangen dan ingin kembali ke sana.
"Selamat pagi?" Fere menyapaku, lalu menggeser kursi dan duduk di kepala meja.
Kutatap Fere tidak percaya, dengan susah payah aku menelan roti panggang yang tiba-tiba tersangkut di tenggorokan. "Kamu." Ku ambil air putih dan meneguknya dengan cepat. "Sejak kapan kamu pulang?"
"Kenapa, apa kamu tidak suka sarapan bersama suamimu?"
Aneh rasanya mendengar Fere menyebut dirinya sebagai suami, melihat Fere yang sedang menatap ke arahku. Mau tidak mau aku jadi teringat mimpi ku semalam, Fere menciumku dengan amat dalam dan panas membuat wajahku memerah seketika.
"Bu-bukan seperti itu... Mak-sudku-maksudku... Sejak kapan kamu pulang?"
"Kenapa Pak Usman tidak menyiapkan kopi untukku?" Bukannya menjawab pertanyaanku Fere malah menatap kesana-kemari mencari keberadaan Pak Usman setelah tahu tidak ada kopi pagi ini untuknya.
"Aku sengaja melarangnya untuk tidak membuatkan kopi untukmu. Kalau kamu mau aku bisa membuat cokelat panas atau orange juice atau apapun itu asal jangan kopi."
"Wah... Kamu sudah seperti istri yang sesungguhnya. Air putih juga tidak masalah, toh, aku masih bisa minum kopi di kantor."
"FERE!" Dan Fere hanya tersenyum lalu memakan omeletnya tanpa protes. Dia tidak tahu kalau omelet yang dimakannya adalah hasil buatanku. Ku lihat Fere sempat diam sesaat lalu melanjutkan mengunyah makanannya,
"apa rencanamu hari ini?" Tanyanya kemudian dan menatapku sekilas,
"tidak ada, dan sejak kapan kamu pulang?" Aku masih penasaran karena Fere belum menjawab pertanyaanku.
"Tadi pagi," aku tahu jawaban Fere bohong karena dia tidak berani menatapku.
"Kenapa aku tidak tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada akhirnya
RomancePada akhirnya aku harus menyerah pada takdir Pada akhirnya aku harus membuang jauh harga diri serta ego ku Pada akhirnya aku harus menunjukkan baktiku pada Ibu. Ibu apapun akan ku lakukan untuk kesembuhanmu, termasuk menjual rahimku untuk mendapatk...