Baru lima hari aku menyandang status sebagai seorang nyonya. Selama itu pula ada jarak yang terbentang antara aku dengan Dimas. Kami tidur bersama dalam satu kamar, satu tempat tidur, tapi tak pernah melakukan apa-apa.
Tubuh kami tidak pernah mencoba untuk saling menyentuh. Impotensi menjadi dinding tebal di antara kami. Kadang ada keinginan untuk menanyakan pada Dimas tentang hal-hal yang bisa kami lakukan, yang mungkin saja akan sedikit membantu memecahkan masalah impotensinya.Namun aku belum memiliki keberanian itu. Ada rasa sungkan, malu, dan ragu. Tentu saja karena aku tidak terbiasa dengan hal-hal intim yang masih baru buatku. Keintiman suami istri yang seharusnya kami lakukan, tapi aku sadar kalau tidak bisa terlalu memaksanya. Aku akan mencobanya pelan-pelan, tanpa terburu-buru.
Sambil menyisir rambutku di depan cermin meja rias, aku menggulirkan jari dipermukaan layar smartphone-ku. Menelusuri laman situs kesehatan yang sengaja kusimpan.
Impotensi Bisa Disembuhkan.
Itu judul dari sebuah artikel yang kubaca semalam. Intinya adalah impotensi bisa disembuhkan dengan berkonsultasi ke dokter dan mendapatkan terapi pengobatan yang tepat, karena banyak faktor yang bisa membuat seseorang mengalami hal tersebut. Dari faktor psikologis sampai adanya riwayat penyakit yang diderita. Namun aku tidak melihat gejala penyakit ataupun beban psikologis yang mungkin saja ada pada Dimas. Dia terlihat sehat dan bugar.
Bisa jadi ada sesuatu yang disembunyikan olehnya yang aku belum tahu. Mungkin saja dia malu untuk mengungkapkannya dan memilih untuk menyimpan rahasianya sendiri. Tapi sekarang aku adalah istrinya. Tidak semestinya dia merasa malu lagi. Dia harus tahu kalau aku akan selalu mendukungnya. Aku harus membuatnya yakin tentang itu.
Oke, Pelan-pelan saja. Tidak ada yang mustahil. Aku percaya itu.
Klek!
Aku menoleh mendengar suara pintu kamar mandi dibuka dan buru-buru memalingkan muka begitu melihat Dimas yang bertelanjang dada dengan handuk terlilit di pinggangnya. Kuletakkan begitu saja sisir di atas meja rias. Mendadak hilang minat untuk merapikan rambutku. Tanganku lalu bergerak mengikat rambutku dengan asal, tepat saat Dimas berjalan melewatiku menuju walk in closet. Berusaha untuk tidak melihatnya.
Dipikir-pikir konyol juga tingkahku ini. Padahal Dimas adalah suamiku. Seharusnya aku tidak perlu merasa malu, tapi aku tidak bisa melihat Dimas tanpa pakaian. Dan ini sudah kesekian kalinya mataku harus menangkap tubuh atletisnya diumbar di depanku. Aku tidak mau berbohong pada diriku sendiri kalau jantungku sepertinya berdetak lebih cepat tiap kali melihat Dimas dalam keadaan seperti itu.
“Mila.”
“Ya?”
Seharusnya aku tidak perlu menoleh terlalu cepat, yang malah membuatku terlihat gugup di depan Dimas. Nyatanya aku kaget karena baru menyadari kehadirannya yang sudah berdiri di sebelahku sambil memasukkan kancing kemejanya satu per satu.
“Titin bilang sama aku, katanya kamu yang menyetrika sendiri bajuku, ya?” tanyanya.
“Iya, daripada aku nggak ada kegiatan di rumah.”
“Itu sudah kewajibannya Titin. Jadi kamu nggak perlu melakukan tugasnya dia.”
“Nggak apa-apa, Mas. Aku malah suka kalau ada kesibukan. Lagian lumayan bisa bantu kerjaannya Titin. Biar dia nggak terlalu repot.”
Dimas memandangku heran. “Titin digaji buat pekerjaan ini. Kalau kamu bantu dia, nanti dia malah nggak ada kerjaan,” tukasnya lalu berjalan kembali ke walk in closet tanpa menunggu tanggapanku lagi.
Dimas sepertinya memang tidak suka kalau aku membantu asisten rumah tangganya. Padahal itu hal normal yang biasa kulakukan di rumahku. Apalagi aku bukan tipe wanita yang senang berongkang-ongkang kaki tanpa melakukan apa pun. Statusku sekarang adalah ibu rumah tangga, jadi sudah sewajarnya aku melakukan kegiatan rumahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...