Namun tiba-tiba Dimas malah mengendurkan rengkuhan tangannya pada pinggangku. Sekarang ada jarak di antara kami. Matanya masih tetap lurus menatapku, lalu dia menggelengkan kepala.
"Aku nggak bisa," ucap Dimas pelan.
Aku bergeming. Otakku dikembalikan pada kondisi normalnya setelah teralihkan oleh kecepatan detak jantungku yang sempat menggebu.
"Kamu menghormati aku sebagai seorang suami, kan?" Dimas bertanya dan aku hanya membalas dengan anggukan.
Dimas menarik napas panjang, lalu melanjutkan kalimatnya, "Jadi aku harap kamu nggak akan memintaku lagi untuk mencoba melakukan hubungan intim sama kamu. Aku impoten dan itu sudah cukup menyedihkan. Kalau aku memang sudah merasa siap, aku pasti akan melakukan itu. Tapi kenyataannya aku nggak akan pernah siap."
Dimas menjauhkan tangannya dariku dan segera berlalu begitu saja tanpa menunggu komentarku. Dibiarkannya aku tetap berdiri di sini, di tengah rasa bingung akan situasi kami.
Aku salah ketika mengira Dimas kali ini akan mencoba melakukannya. Ternyata dia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menyentuhku dengan alasan yang aku tak bisa bantah.
Namun lagi-lagi pertanyaan ini yang mengisi pikiranku, sampai kapan Dimas akan menutup diri seperti ini?
•••
"Kapan, dong, Jeng Yasmin punya cucu?"
Pertanyaan mendadak itu langsung membuatku siaga dan menengok ke arah seorang wanita paruh baya berbibir tebal dan besar yang dipulas lipstick berwarna merah terang. Wanita itu sepertinya terlalu berlebihan mem-filler bagian bibirnya sehingga aku melihatnya agak aneh, karena menjadi begitu besar dan tidak pas di wajahnya.
"Iya, kok, lama sekali, ya, Jeng?" timpal wanita di sebelahnya yang kupikir terlalu banyak memakai perhiasan. Gelang-gelangnya ikut bergemerincing saat tangannya bergerak mengayunkan kipas lipat.
Ya Tuhan, jangan lagi...
Sekarang aku mulai merasa tidak nyaman dengan situasiku yang berada di tengah teman-teman arisan Mama Yasmin.
"Apa sudah diperiksa ke dokter, Jeng? Jaga-jaga saja, siapa tahu ada yang salah. Harus segera diperiksa, Jeng!" Pemilik sepasang netra berbulu mata palsu panjang nan lentik itu berkata sambil melirik ke arahku yang sejak awal diperkenalkan pada mereka hanya lebih banyak diam.
Aku tahu maksud mereka, yang sedang menunjukkan kalau mungkin ada sesuatu yang salah dalam diriku. Mama Yasmin menampilkan senyum sewajarnya yang dia bisa. Namun aku tahu, di balik senyumnya ada kekesalan yang sedang dia tahan. Hanya tinggal menunggu waktu saat nanti dia meluapkan emosinya padaku selepas teman-teman di kelompok arisan bulanannya ini pulang. Aku kemudian undur diri dengan dalih untuk mengambil kue di dapur.
"Jangan-jangan mandul, Jeng."
Kalimat yang kudengar itu membuat langkahku tertahan, yang kemudian dibalas dengan pekikan tertahan dari para wanita paruh baya lainnya yang selalu mempertontonkan kemewahan itu. Seolah mereka sedang menahan sesuatu yang hina.
Wanita yang berkata sebelumnya buru-buru meralat, "Maksud saya bukan Dimas yang mandul, lho, Jeng. Kalau Dimas, saya yakin sehat dan nggak ada masalah. Kan, dari bibit bagus dan lingkungan yang baik. Tapi menantumu itu, Jeng, dari kelas biasa. Bisa saja dia yang memang mandul."
"Aduh ... sayang sekali kalau menantumu mandul, Jeng!" sahut yang lainnya.
Perbincangan terus berlanjut membahas diriku yang mereka duga bermasalah dengan kesuburan. Telingaku semakin terasa panas mendengar kata mandul tersebut diulang-ulang. Aku lantas berjalan cepat menuju dapur, membuka lemari pendingin, lalu mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya pada gelas. Aku meneguknya dengan cepat. Berharap segera mendapat kelegaan.
Apa yang terjadi denganku dan Dimas setelah hampir dua tahun kami menikah?
Semua masih sama saja. Tidak ada yang pernah terjadi sebagaimana hubungan suami istri. Aku masih perawan. Dimas enggan menyentuhku. Tidak ada usaha atau bahkan keinginan untuk mencobanya sekali saja denganku. Membuatku harus menerima cecaran Mama Yasmin semakin menjadi-jadi. Aku bagai sebuah tameng dari pernikahan yang pincang dan butuh pegangan.
Dimas tidak pernah mengatakan apa-apa untuk membelaku di depan mamanya. Aku harus mencari alasan yang dapat kukarang dengan tepat untuk meredam banyak pertanyaan Mama Yasmin. Meski aku merasa berat karena harus berbohong, tapi aku rasa itu setimpal dengan kewajibanku sebagai seorang istri untuk menutupi kekurangan Dimas. Kelemahan suamiku yang tidak akan kuungkapkan pada siapa pun, walau harus aku yang menanggung sakit.
"Kamu lihat sendiri. Gara-gara kamu, saya jadi bahan cemoohan mereka." Tiba-tiba suara Mama Yasmin terdengar sangat dekat.
Aku hampir saja menjatuhkan gelas di tangan saking kagetnya, karena mendapati Mama Yasmin sudah berdiri di depan pintu dapur dengan raut wajah kesal. Benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya padaku.
"Kapan kamu bisa memberikan keluarga kami keturunan?" tanyanya sinis.
Matanya menelusuriku dari atas hingga bawah, seakan tengah menilai sekaligus merendahkan. Yang bisa kuperbuat hanya diam menunduk, bersandar pada tepian kitchen island. Dadaku dipenuhi rasa ingin membalas perkataan ibu mertuaku itu. Namun aku tak sanggup untuk melawannya.
"Jika kamu memang betul mandul, kamu sudah melempar aib di keluarga ini!" tukasnya geram lalu berbalik meninggalkan dapur. Menyisakan luka pada harga diriku saat beliau mengungkit aib.
Aku pasrah, lagi-lagi menjadi yang disalahkan. Di saat seperti ini sebetulnya aku hanya butuh Dimas untuk mendukungku, memelukku dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja ke depannya. Tapi kenyataannya aku selalu merasa ditinggal sendirian.
Setelah itu aku mengurung diri di kamar. Lebih baik bagiku untuk menenangkan diri dengan sendirian. Merenungkan kembali perkataan Mama Yasmin yang begitu menyakitkan.
Tanganku memegang ponsel yang sudah sedari tadi kupertimbangkan untuk menelepon kakakku. Aku bukan akan mengadu, tapi aku hanya butuh mendengar suara saudariku itu. Kupikir akan bisa sedikit menghiburku.
“Ya, ada apa, Mil?" tanyanya yang kutebak pasti dia sedang berada di luar kantor, karena ada suara-suara berisik kendaraan yang terdengar.
“Mbak Lila lagi di mana?”
“Lagi mau survey lokasi,” jelasnya lalu kudengar dia sempat berbicara dengan orang lain.
Aku belum mengatakan apa-apa lagi, karena sebenarnya aku sendiri juga bingung mengungkapakan alasan kenapa aku meneleponnya.
“Mila?” Mbak Lila memecah jeda kosong di antara kami. “Kamu baik-baik aja, kan?”
“Iya, Mbak, aku baik-baik aja.”
“Terus ada apa kamu menelepon?”
“Aku hanya lagi kangen aja sama Jogja.”
“Benar hanya karena itu?” tanyanya lagi yang terdengar tak yakin.
“Iya, mungkin nanti aku akan ke sana kalau Mas Dimas sedang senggang,” kataku berusaha mematahkan intuisinya yang kadang selalu tepat dalam menduga sesuatu.
“Bagus kalau begitu. Aku tadinya khawatir kamu sedang ada masalah di sana.”
Aku tertawa kecil untuk memperkuat kesan kalau aku dalam keadaan baik-baik saja. “Mbak Lila jangan berpikir terlalu jauh. Aku di sini nggak ada masalah sama sekali, kok.”
Kemudian kami mengobrol hanya sebentar karena Mbak Lila harus kembali fokus pada pekerjaannya.
“Kalau ada apa-apa kasih tahu aku, ya. Kamu jangan menyimpannya sendiri.”
Sesaat setelah kami mengakhiri obrolan, aku terdiam. Kakakku sepertinya lebih percaya dengan intuisinya daripada alasan yang kuberikan.
••☆••
Jangan lupa untuk tap love dan follow ya
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...