Hari ke empat tanpa Keenan. Rutinitasku di pagi hari berubah, atau lebih tepatnya kembali seperti saat aku belum mengenalnya. Biasanya dia selalu datang lebih pagi untuk mengantarku ke kantor, membuat kami sering kali menikmati sarapan bersama. Keenan paling suka kalau aku membuatkan nasi goreng dengan tambahan taburan keju di atasnya. Dia begitu suka makanan yang banyak mengandung keju."Semua pasti enak kalau kamu yang bikin." Keenan sering mengatakan itu di sela suapannya.
Sekarang, aku menikmati sarapan ini sendirian. Mengunyah setangkup roti tawar berlapis olesan selai nanas tanpa perlu repot memasak lagi. Ini adalah aku tanpa Keenan. Yang kembali masuk ke dunia normal abu-abuku tanpa ada dirinya yang cerah berwarna.
Duniaku yang kini kembali normal ketika berdesakkan dengan banyaknya orang di dalam bus TransJakarta. Berdiri di tengah sosok-sosok asing yang tidak memberikan senyum lebarnya seperti Keenan kala mengantarku ke kantor. Yang tidak akan bercerita banyak hal seperti yang biasa Keenan lakukan sepanjang perjalanan kami.
"Akan aku buat supaya kamu terus bergantung sama aku." Dia sangat yakin kalau aku akan terus membutuhkannya.
"Aku bisa menjaga kamu, melindungi kamu, menjadi tempat kalau kamu merasa sulit. Itu aja sudah cukup bikin aku bahagia karena merasa dibutuhin sama kamu."
Dia sama seperti Sisil.
Kucengkram kuat hand holder berbentuk segitiga yang tergantung, demi menjaga keseimbanganku agar tidak terjatuh. Suara dari speaker bus sesekali terdengar menginformasikan tentang halte selanjutnya.
Orang yang berdiri persis di belakangku sepertinya mengenakan ransel di depan dadanya. Ada bagian tas tersebut yang terasa keras. Entah apa itu sehingga membuatku meringis sakit ketika sesekali ada dorongan dari arah belakang. Sayangnya aku tidak bisa mengubah posisiku, karena orang-orang di sekelilingku pun sudah terlalu rapat. Kucoba menggerakkan punggungku, tapi tidak ada bedanya.
"Bagian mana yang sakit?" Suara Keenan seperti dapat kudengar sekarang. Dia pernah menanyakannya saat kakiku terkilir.
Kenapa sekarang kamu malah muncul dalam pikiranku, Kin?
Tapi aku bisa bernapas lega, karena hal itu tidak berlangsung lama. Mungkin orang itu sudah berpindah tempat atau telah menyadari ketidaknyamananku. Malah sekarang jauh lebih baik karena tidak ada dorongan dari belakang lagi.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu yang tidak asing, mencium jenis aroma yang selama ini sudah cukup akrab. Seperti aroma parfum yang biasa Keenan pakai. Mungkin ada salah satu penumpang memakai parfum yang sama dengannya.
Di halte Setiabudi aku turun, tapi tertahan karena hujan. Aku tidak membawa payung bukan karena lupa, tapi payungku memang rusak saat terakhir kali kupakai. Sepulang dari kantor nanti aku akan mampir ke toko untuk membelinya.
Mereka yang bernasib sama sepertiku memilih menunggu hujan mereda di sepanjang koridor halte. Suara hujan bercampur suara obrolan orang-orang membaur di sekelilingku.
“Mbak."
Aku menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya berhijab hijau sudah berada di sebelahku.
"Ya?"
"Ini saya ada payung. Silakan dipakai saja." Wanita itu menarik tanganku untuk memegangnya, lalu buru-buru menyerahkan payungnya padaku.
"Tapi, Bu ...." Belum sempat aku bertanya lagi, wanita itu sudah buru-buru pergi.
Aneh, ada orang asing yang tiba-tiba memberiku payung. Kuperhatikan payung lipat berwarna biru itu, yang setelah kupikir lagi tidak ada salahnya menerima kebaikan orang. Mau kutolak pun ibu-ibu itu sudah pergi. Jadi segera kubuka payung itu dan berjalan melewati hujan.
••☆••
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...