DIMAS [15]

23.9K 2.5K 206
                                    

"Mas Dimas," panggil suara itu lembut.

Aku menoleh dan melihat dia yang tersenyum di sebelahku. Kami sama-sama berbaring di atas hamparan rumput hijau. Posisi kami sama-sama menyamping dengan salah satu tangan menyangga kepala, sehingga kami saling berhadapan. Saling menatap penuh cinta.

Hanya suara gemerisik daun yang terdengar di sekeliling kami. Menikmati suasana sore yang sebentar lagi akan mengeluarkan goresannya untuk memerahkan langit.

"Ya?" Aku menjawab sambil mengagumi dirinya.

Aku merasa begitu bahagia bisa memandangi keindahannya. Alis, mata, hidung, dan bibirnya adalah milikku, yang membuatku menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Tak ada lagi yang kuinginkan selain dia. Wanita yang memenjara hatiku. Rambutnya dibiarkan tergerai, sehingga aku leluasa memainkan jariku pada helaiannya.

"Aku hamil, Mas." Ada binar bahagia kala dia mengatakan kalimat itu. Ada senyum yang terlukis bersama rona bahagia pada wajah cantiknya. Dan ada luapan kegembiraan diriku yang terlihat pada cermin matanya.

Tak ada kata yang sanggup terucap karena aku terlalu bahagia. Kubelai rambutnya penuh cinta lalu kuusap perlahan wajahnya yang selalu memancarkan kehangatan dan keteduhan saat aku menatapnya.

Aku sungguh mencintainya. Kini dia mengandung anakku, buah hati kami. Aku akan menjadi seorang ayah dari anak yang kelak akan dilahirkan olehnya yang sangat kucintai.

Aku tersenyum lebar lalu merentangkan sebelah tanganku agar dia bisa merebah di sana. Dia mendekat, masuk ke dalam rengkuhanku. Kukecup lembut keningnya dan kukatakan rasa terima kasihku padanya karena sudah mengandung buah cinta kami.

Momen yang tidak ingin kutinggalkan bahkan untuk sekejap saja. Aku hanya ingin memegang tangannya erat, tanpa pernah sekali pun kulepaskan. Bahkan bila ini hanya mimpi.

Namun kenyataannya, ini memang hanya sebuah mimpi.

Aku terbangun. Mengembuskan napas panjang. Menatap dalam gelap kamar yang membiaskan cahaya dari luar, melewati celah gorden jendela yang sedikit terbuka.

Mimpi yang selalu berulang. Mimpi yang sama. Mimpi tentang wanita yang hingga masa satu tahun perpisahan kami, masih meninggalkan jejaknya di sudut hati serta pikiranku. Hanya ada dia dalam setiap mimpiku.

Camila.

•••

"Kamu kenal, kan, sama anaknya Tante Salma yang dulu pernah satu sekolah waktu kamu di SMP?" tanya Mama, saat aku sedang menikmati makan malam yang tidak bisa dalam keadaan tenang tanpa satu perbincangan.

Sebagai bentuk kesopanan, kubalas hanya dengan mengangguk. Malas menanggapi, karena Mama sedang berusaha untuk kesekian kalinya menjodohkanku. Kali ini aku harus berurusan dengan Aninda, anak teman Mama yang juga pernah menjadi teman satu sekolahku di SMP. Tak banyak yang aku ingat dari wanita itu. Mama begitu bersemangat menceritakan Aninda seolah beliau sudah hapal luar dalam kehidupan wanita yang lagi-lagi diharapkannya menjadi calon istriku.

"Aninda itu sudah cantik, pintar, dokter pula, kurang apa lagi coba? Harusnya sekarang kamu bisa lebih terbuka. Usia kamu sudah tiga puluh lima tahun. Sampai kapan kamu mau menduda? Masa kamu mau sendirian terus." Mama terus saja mengeluh.

Aku memasukkan tiap suapan nasi beserta lauknya ke mulutku tanpa terburu-buru, meski sebenarnya aku ingin segera lari dari topik ini. Masalah perjodohan, masalah statusku yang hingga kini masih betah menduda. Namun, bukan Mama kalau ujung-ujungnya tidak mengungkit masalah keturunan. Bagi Mama memiliki cucu adalah suatu keharusan. Tanpa tahu kalau sebenarnya kesalahan itu ada padaku.

"Kapan Mama bisa punya cucu? Kapan kamu bisa memberikan keturunan untuk keluarga ini?" Mama terdengar kesal.

Aku masih belum menanggapi, mencoba fokus pada makananku yang tinggal beberapa suapan lagi akan habis. Sampai Mama mengeluarkan ucapan yang sepertinya ditujukan pada Papa dan sukses membuatku tidak bernafsu lagi untuk melanjutkan makanku.

"Seharusnya Dimas dulu jangan pernah menikahi Camila. Gara-gara dia yang mandul, keluarga kita jadi kena sial!"

Papa diam, tidak berkomentar. Beliau tetap melanjutkan menikmati makan malamnya. Ucapan Mama barusan tidak dia pedulikan. Padahal Papa tahu apa yang sebenarnya terjadi, masalah yang menjadi alasan Camila melayangkan gugatan cerainya pada anak lelaki satu-satunya yang begitu tolol ini.

Sebulan setelah Camila pamit ke Jogja, yang datang kemudian adalah surat dari pengadilan agama berisi gugatan cerai. Aku tidak kaget, karena aku tahu kepergiannya ke Jogja itu memang untuk meninggalkanku. Berpisah dari kehidupan yang membuatnya sakit.

BRAK!

Papa melempar stik golfnya ke arahku, yang hanya membentur lemari kaca di ruang kerjanya. Namun sepertinya sengaja dilempar jauh dari tempatku berdiri. Hanya untuk menunjukkan kalau beliau sangat marah. Setelah aku menceritakan sejujurnya tentang masalahku dan Camila.

"Kurang ajar kamu, Dimas! Dasar anak nggak tahu diuntung! Kamu sudah membuat malu keluargamu sendiri!" Makian Papa kuterima dengan besar hati, karena aku pantas mendapatkannya.

"Bagaimana kalau sampai orang-orang tahu kamu selingkuh dengan sekretaris kamu sendiri?"

Papa berjalan mendekatiku, kedua tangannya langsung mencengkram kuat dan menarik kerah kemejaku. "Hanya seorang pecundang yang bermain dibalik kebohongan, Dimas!" bentak Papa tepat di depan mukaku. "Apa yang ada di kepala kamu sampai seberengsek itu?!"

Papa benar. Aku seorang pecundang yang berani menyakiti hati wanitanya. Hanya seorang pecundang yang di bagian akhir pun masih berlindung pada wanita yang telah disakitinya.

Hanya Papa yang tahu masalah sebenarnya, kalau selama ini selain berselingkuh aku juga sudah berpura-pura impoten. Camila hanya menggunakan alasan perselingkuhan sebagai bagian dari gugatannya dan tidak pernah mengungkit masalah keimpotenanku.

"Seharusnya Papa nggak perlu menjodoh-jodohkan Dimas dengan Camila hanya karena janji konyol dengan temanmu itu. Padahal nyawanya saja sudah nggak ada!"

Perkataan Mama sepertinya sudah tidak bisa ditolerir lagi oleh Papa yang langsung beranjak bangkit meninggalkan meja makan.
Aku pun melakukan hal yang sama. Daripada berdebat dengan Mama yang tidak pernah mengenal kata kalah, lebih baik aku segera menghindar.

Mama masih terus mengoceh tentang aku yang tidak bisa menggunakan kelebihan sebagaimana mestinya seorang lelaki tampan dan sukses bisa wujudkan. Aku maklumi itu, karena Mama tidak tahu apa yang sudah diperbuat anaknya ini. Mama tidak tahu kecurangan yang dilakukan anaknya ini.

Tidak akan pernah ada lagi wanita yang setia menungguku pulang kerja, membuatkan hidangan terlezatnya, memasangkan dasi, menceritakan hal yang kadang tidak lucu, tapi aku bisa ikut tertawa bersamanya. Bahkan aku rindu saat dia tersenyum. Kuingat matanya selalu mempunyai binar indah, yang hanya kudapatkan pada Camila.

Di hari pertama menyandang status sebagai duda, aku menangisi kebodohanku. Berjam-jam aku berdiam diri di dalam mobil sepulang dari pengadilan yang sudah memperdengarkan ketukan palu hakim, bukti perceraian kami telah sah secara hukum. Aku terlambat menyadari betapa berartinya Camila untukku.

••☆••

CAMILA [ Sudah TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang