Ketika Kita Harus Berakhir [46-B]

17K 1.6K 197
                                    

Keenan

Karyawan yang menghuni gedung perkantoran ini sudah mulai turun. Keluar dari lift yang terus menerus membuka dan menutup mengeluarkan orang-orang yang akan pulang setelah menuntaskan jam kerja mereka.

Aku bukan bagian dari mereka. Aku nggak bekerja di sini, tapi aku hafal tempat ini. Selama beberapa hari aku memikirkan baik-baik yang harus kulakukan selanjutnya, karena aku nggak bisa berdiam diri saja. Maka di sinilah aku sekarang. Berdiri di lobi menunggu Camila muncul.

Apa yang kuharap dari pertemuan kami nanti bukan untuk memintanya kembali. Itu nggak mungkin. Aku sudah nggak memiliki ataupun menaruh harapan bisa bersamanya lagi. Yang kuinginkan hanya memberikan sesuatu yang selama ini kusimpan. Setelah itu selesai. Aku bisa berpaling dan nggak menengok ke belakang lagi. 

Mataku kemudian menangkap sosok cantik itu berdiri di sana. Dia menyadari keberadaanku yang menunggunya. 

•••

Camila

Keenan? Mau apa dia ke sini?

Dia berjalan menghampiriku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. 

"Apa kabar?" sapaan Keenan terdengar kaku. 

"Baik."

Lalu kami sama-sama diam. Kecanggungan begitu kental mengurung kami. Aku tidak tahu apa sebenarnya tujuan Keenan menemuiku.

"Bisa minta waktu kamu?" tanyanya. 

"Ada apa?"

"Ada yang mau aku omongin sama kamu. Tapi nggak di sini. Kita cari tempat lain."

Aku agak ragu. Mencoba menerka hal apa yang ingin dibicarakan Keenan.

"Hanya sebentar. Nggak akan lama," ujarnya lagi dan aku menyetujuinya.

Kami kemudian berjalan menuju tempat parkir. Dia melangkah di depanku. Kutatap punggung itu. Terasa sekali ada jarak yang sudah dia buat. Bukan lagi Keenan yang biasanya menggandeng tanganku di sampingnya.

Aku merasa miris dengan pikiranku sendiri. Kami sudah putus, lalu kenapa aku masih membandingkan perlakuannya sekarang dengan saat kami masih bersama? Aku yang menginginkan hubungan kami berakhir, tapi kenapa rasa rindu padanya seolah muncul setelah dia bukan siapa-siapa lagi untukku?

Rasa canggung itu terus hadir saat kami sudah berada di dalam mobil. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sehingga aku memilih diam tanpa bertanya lagi tujuan kami. 

Mobilnya berhenti di depan Anomali Coffee. Sebuah kafe di Setiabudi yang dari kantorku hanya perlu sepuluh menit untuk sampai dengan berkendaraan. Dan kami sebelumnya memang sudah sering mampir ke kafe ini. Namun sekarang tentu berbeda. Kondisi kami sudah tidak sama seperti ketika dia masih bersamaku. Sehingga memasuki kafe ini malah membuatku agak tidak nyaman. 

Aku berjalan mengikuti Keenan menuju meja yang sudah kuduga akan dia pilih, karena di meja itulah biasanya kami berada. 

Dia memesan americano, sedangkan aku seperti biasanya memilih hazelnut latte.

"Maaf, kalau aku sudah ganggu waktu kamu. Tapi aku hanya ingin bertanya sama kamu."

Aku menunggu kalimat selanjutnya.

 "Kenapa kamu nggak kasih tahu aku, kalau kamu sebenarnya kenal Nadia?"

Aku cukup terkejut Keenan sudah mengetahuinya.

"Kin ...." Mulutku ingin berkata lebih lanjut, tapi sebagai gantinya hanya kekosongan yang bisa kukeluarkan.

"Kenapa kamu nggak jujur aja sama aku, Mil?" 

CAMILA [ Sudah TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang