KEENAN [36]

19K 2K 193
                                    

"Kamu mau minum?" tanyaku pada Camila saat berhenti di lampu merah. 

Dia menggeleng.

Kaca jendela mobil kubuka, lalu memanggil seorang pedagang minuman yang berdiri beberapa meter saja di depan. Setelahnya, segera kutenggak air dalam botol. Melirik sekilas pada Camila yang sedari tadi lebih banyak diam. Seperti sedang ada yang dia pikirkan. Aku penasaran. Nggak ada yang nggak berjalan mulus tadi. Ayah dan tante Citra juga menerima dengan baik Cintanya Aku.

Lalu apa? 

"Apa ada masalah yang kamu nggak ceritain ke aku?"

Nah, sekarang Cintanya Aku malah kelihatan gugup. Pasti ada apa-apanya, karena dia nggak langsung menjawab. Senyumnya terasa dipaksakan.

"Nggak ada masalah, kok, biasa aja. Memangnya mukaku kelihatan sebermasalah itu, ya?"

"Seperti ada yang lagi kamu pikirin. Ceritain ke aku kalau memang ada masalah, mungkin aja aku bisa bantu. Minimal ngurangin beban pikiran kamu." 

"Nggak ada apa-apa," kilahnya lalu tertawa pelan saat melihatku menaikkan alis seolah nggak yakin. "Beneran, Kin, aku hanya merasa ngantuk dan sedikit capek hari ini."

Tapi tetap saja, aku merasa ada yang aneh dengan dia. Aku lalu meraih tangannya untuk menjalin jemari kami.

"Kalau begitu yang kamu butuhin sekarang adalah tidur. Pejamkan mata kamu dan nggak usah mikirin apa pun itu yang menjadi beban di pikiran kamu. Masih ada waktu sekitar setengah jam lagi untuk sampai di rumah kamu."

Camila seperti ingin menyangkal, tapi nggak jadi. Dan nggak ada yang lebih indah sepanjang perjalanan aku mengantarnya pulang, selain melihat Cintanya Aku memejamkan mata. Begitu terlihat damai. 

Ah, aku selalu suka bagian ini. Puas-puasin melihat wajah cantiknya yang kalau tidur bikin aku berkhayal seandainya bisa tidur juga di sampingnya, membelai lembut pipinya, dan ... naaah ... pikiran jahanam muncul lagi, kan. Sepertinya aku memang harus segera menjadikan dia istriku.

Camila nggak mengajakku mampir untuk duduk atau mengobrol sebentar di rumahnya. Aku maklum, mungkin dia memang benar-benar ingin istirahat. 

Sekembalinya ke rumah, aku ikut bergabung dengan Ayah dan tante Citra di ruang keluarga. Tante Citra membahas kunjungan Camila, yang sudah kuduga kalau dia pasti menyukai Cintanya Aku.

"Umur Keenan sudah tiga puluh tiga tahun, sebaiknya disegerakan saja." 

Tante Citra melirikku, lalu menyenggol pelan lengan Ayah yang duduk di sampingnya.  

"Semua terserah Keenan, dia sudah lebih dari cukup untuk dibilang dewasa dalam menentukan jalan hidupnya. Termasuk soal menikah." 

Tante Citra tampak semringah. "Tunggu apa lagi, kamu secepatnya lamar Camila. Tante sangat suka sama dia. Orangnya baik, lembut, dan kelihatannya tidak suka macam-macam, ya. Sederhana."

Aku membenarkan terkaan tante Citra. Senang karena Cintanya Aku berhasil meninggalkan kesan yang positif dari pertemuan tadi.

Tapi, aku nggak melihat keantusiasan Nadia. Adikku itu memilih nggak bergabung dengan kami di ruang keluarga. Dia duduk di teras belakang, sendirian. Aku lalu menghampiri Nadia, ikut duduk di sebelahnya. Dia nggak merespon kehadiranku. 

CAMILA [ Sudah TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang