Pukul sepuluh pagi Keenan sudah menjemputku untuk bertemu dengan kedua orang tuanya yang sedang berkunjung ke Jakarta. Dia tersenyum lebar saat aku duduk di sampingnya. Tangannya bersiap pada stir mobil, tapi pandangannya tertuju padaku.
"Kenapa? Ada yang aneh?" tanyaku heran.
Mungkin pakaian yang kukenakan tidak cocok, atau mungkin riasan wajahku terlihat aneh. Dan apa pun itu yang bisa membuatku harus berpikir kalau ada cela dalam penampilanku.
"Seperti biasanya kamu cantik. Tapi hari ini levelnya meningkat." Keenan mengedipkan sebelah matanya. "Aku suka dengan yang kamu pakai hari ini. Membuat kamu semakin cantik."
Aku hanya tersenyum menanggapi pujian Keenan. Dress berwarna hijau toska berbahan brokat ini kupilih setelah banyak pertimbangan dan penilaianku sendiri tentang pakaian yang sebaiknya dikenakan saat bertemu orang tua Keenan.
Jujur aku gugup. Padahal Keenan hanya bermaksud memperkenalkanku saja, tidak lebih. Ada rasa takut mereka tidak menyukaiku, tidak sesuai dengan ekspetasi mereka, kurang ini, kurang itu, dan banyak hal lain yang menjabarkan sisi kekurangan serta kelemahanku.
Aku tidak bisa memungkiri kalau menyimpan kecemasan itu. Mengkhawatirkan tentang sebuah penilaian, karena Mama Yasmin pun dulu seperti itu.
Aku mendesah, yang tanpa kusadari telah menarik perhatian Keenan.
"Kamu nggak apa-apa?" Keenan melirikku sekilas.
Aku hanya tersenyum, kemudian Menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Berharap rasa gugup ini akan berkurang, meski nyatanya jariku malah semakin bergerak gelisah.
Keenan menarik salah satu tanganku ke atas pangkuannya. Sentuhan tangan Keenan terasa hangat. Dia mengusap lembut punggung tanganku.
"Ada yang kamu pikirin?"
Aku mengedikkan pundak. "Nggak ada, hanya ...." Aku memilih tak melanjutkan perkataanku, tapi Keenan ternyata mampu menebak dengan baik apa yang sedang aku risaukan.
"Kamu takut bertemu orang tuaku, ya?" tanyanya.
Aku hendak mengelak, tapi Keenan sepertinya memang mampu menebak dengan baik kegelisahanku saat ini.
"Sedikit gugup," jawabku.
"Santai aja, orang tuaku nggak menggigit, kok," guraunya.
"Aku takut mereka nggak suka sama aku, Kin."
"Kenapa harus nggak bisa suka sama wanita sebaik dan secantik kamu? Nggak ada hal yang bisa dijadiin alasan untuk mereka nggak menyukai kamu, Mila."
"Tapi aku pernah mengalaminya sendiri, Kin. Aku tahu rasanya berada di bawah penilaian dari ...." Kata-kataku seolah tersangkut di tenggorokan. Begitu sulit. Salah satu tanda yang kusadari, bila bagian-bagian kecil dari masa lalu itu memang masih memberi efeknya padaku.
Keenan sepertinya mengerti siapa yang kumaksud. Dia meremas lembut jemariku yang berada dalam genggamannya. Ajaibnya, itu cukup menenangkan.
"Kamu nggak perlu khawatir, Ayah dan Tante Citra bukan tipe orang yang suka menilai, apalagi suka berkomentar pedas. Kalau memang seperti itu, tentu mereka sudah diminta menjadi komentator ajang pencarian bakat, dong," candanya.
Kami tertawa. Lagi-lagi kehangatan itu perlahan menelusup. Membuatku lebih merasa tenang, dan yakin kalau semua pasti berjalan dengan baik, karena ada Keenan bersamaku.
•••
Keenan benar, mungkin aku saja yang terlalu berlebihan dengan ketakutanku, karena apa yang kukhawatirkan tidaklah terjadi. Kedua orangtuanya memiliki pribadi yang hangat. Mereka menyambutku dengan keramahan yang tulus, bukan hanya basa-basi atau sekadar bentuk sopan santun kala menerima kehadiran tamu.
Ayah Keenan banyak membuatku tertawa sepanjang obrolan kami. Beliau terus saja menjadikan anak sulungnya sebagai bahan candaan, dan Keenan kadang menimpali dengan tak kalah lucunya. Hingga aku menyadari kemiripan antara ayah dan anak yang tidak terbantahkan itu. Sedangkan wanita di sebelahnya, yang kuketahui sebagai ibu tiri Keenan, tampak anggun dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajah cantiknya.
Kami berbincang tentang banyak hal, dan tidak ada satu pun menyinggung mengenai statusku, yang aku kira mungkin saja Keenan sudah memberitahu mereka sebelumnya. Tapi lebih dari itu, aku merasa begitu diterima di tengah keluarga Keenan
"Apa yang membuat kamu bisa suka sama Keenan?" tanya Tante Citra yang kini duduk bersebelahan denganku di teras belakang rumah yang teduh.
"Banyak hal yang bisa membuat saya menyukai Keenan." Aku menoleh sekilas pada Keenan dan Om Danu yang sedang bermain catur di dalam.
Beliau tersenyum. "Kalian cocok. Saya bisa melihat itu," ujarnya dibarengi kemunculan asisten rumah tangga Keenan yang meletakkan dua cangkir teh pada meja rotan di hadapanku.
Tante Citra kemudian mempersilakanku untuk meminum teh, lalu dia berujar, "Kalau boleh tahu, rencana ke depannya kalian akan seperti apa?
Pertanyaan Tante Citra agak membuatku bingung untuk menjawabnya. Sedangkan aku masih harus menjalani hubungan ini dengan susah payah, demi merangkak keluar dari bayang-bayang masa lalu.
"Apa ada keraguan yang kamu punya untuk Keenan?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. "Keenan sangat baik dan terlalu sempurna untuk saya," ujarku lalu menambahkan, "Saya takut mengecewakan dia."
Tiba-tiba terdengar erangan Om Danu yang merasa kesal ketika pion yang beliau miliki, harus kembali tersingkir dari atas papan catur. Keenan tertawa lepas.
"Dulu, saya juga mempunyai kekhawatiran tidak bisa diterima di keluarga ini. Saya takut anak-anak Mas Danu tidak bisa menerima kehadiran orang lain sebagai ibu mereka."
Tante Citra menyesap teh, sebelum melanjutkan kata-katanya, "Tapi saya salah. mereka ternyata bisa menerima saya dengan tangan terbuka."
"Kalau saya berada di posisi mereka, saya juga nggak mungkin menolak untuk bisa memiliki ibu sebaik Tante," pujiku tulus.
Tante Citra tersenyum, kemudian meletakkan cangkir teh yang sedari tadi beliau pegang ke atas meja. Pandangannya tertuju pada kedua lelaki yang tampak serius menekuri papan catur.
"Kalau saya dulu hanya menuruti ketakutan saja, mungkin saya tidak akan bisa memiliki keluarga ini. Saya mungkin akan berakhir menyesal kenapa harus terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang saya belum tahu akan seperti apa jadinya."
Wanita dengan paras keibuan itu tersenyum. Sorot matanya yang teduh seolah tengah berusaha membuatku yakin.
"Dan sekarang saya bahagia telah memiliki suami yang saya cintai, dan juga tiga orang anak, meski mereka bukan lahir dari rahim saya. Tapi saya sangat menyayangi mereka."
Ada kelegaan yang kutangkap dari nada suaranya. Aku pun ikut tersenyum demi melihat ibu tiri Keenan yang merasa bahagia dengan keluarganya.
Obrolan kami terus berlanjut ketika sebuah suara dari ruang keluarga membuatku dan Tante Citra menengok. Sudah ada seorang wanita berambut lurus sebahu mengenakan long dress bermotif bunga yang berdiri membelakangi posisiku saat ini.
Keenan lalu menunjuk ke arahku, dia hendak bangkit berdiri, tapi sepertinya Om Danu mencegah Keenan melepaskan fokusnya dari permainan catur mereka. Wanita itu lantas berbalik, dan ... aku segera memalingkan wajah. Tidak memercayai apa yang kulihat.
Penglihatanku mungkin sedang menciptakan sebuah ilusi optik karena kecemasan yang sudah di ambang batas, tapi itu memang dia. Dan aku seperti terhisap pada pusaran luka lama untuk sekian kalinya.
"Itu Nadia. Adiknya Keenan," jelas Tante Citra.
Ingin rasanya aku menghindari situasi ini. Tapi apa yang bisa kulakukan, selain menghadapinya.
•••☆•••
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...