"Kamu mungkin butuh tidur, Kin."
Itu jawaban yang diberikan Camila ketika aku mengucapkan kalimat abnormal di situasi hubungan kami yang belum berada pada level yang cukup tepat untuk seorang Keenan Altair mengatakan ‘aku ingin menikah sama kamu’.
Camila mungkin sekarang menganggap aku agak sinting. Nggak waras banget ada orang yang pagi-pagi sudah bikin repot minta dimasakkin dan sekarang malah ngomong mau menikah sama dia. Camila bilang aku butuh tidur mungkin benar, tapi aku serius waktu aku mengatakan itu. Namun buat dia, aku pasti mirip orang yang lagi nggak sadar.
Saat memandang dia yang cantik bikin aku ingin secepatnya menjadi suaminya, karena aku melihat ada masa depanku di sana. Kehidupan selanjutnya dengan anak-anak yang lucu.
Karena hanya kamu yang nantinya dengan bangga akan aku perkenalkan kepada dunia sebagai Nyonya Altair. Cintanya aku.Kata-kata itu hanya terucap dalam hati. Aku nggak mau menambah kekagetannya lagi dengan menyebut Cintanya Aku sebagai panggilan sayangku untuknya. Kalau ini, cukup aku saja yang tahu.
Aku masih menatap matanya yang balas menatapku dengan pandangan heran. Namun aku nggak menyesal sedikit pun setelah mengatakan itu. Memang nggak romantis, bukan diucapkan saat candle light dinner, memesan banyak bunga indah dengan selipan kotak cincin berlian, dan nggak ada adegan aku berlutut seperti banyak adegan film romantis sering tampilkan.
Ini tercetus begitu saja, spontan, nggak pakai rencana sebelumnya. Gara-gara telur dadar dan sayur bayam sudah cukup meyakinkanku, kalau dia yang aku inginkan selama ini.
Camila sepertinya nggak menganggap serius ucapanku. Baginya aku terlihat sedang bercanda sehingga dia hanya tertawa kecil. Tawa manis yang semakin membuat dia tampak cantik.
Senyum dan tawa kamu, tuh sudah bikin aku meleleh, Mil, batinku."Aku serius," tegasku yang membuat dia menatapku dengan pandangan nggak percaya.
Camila menyilangkan tangannya di depan dada lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Menikah itu bukan perkara main-main, Keenan.""Aku nggak sedang main-main. Aku nggak pernah main-main saat aku suka sama seseorang. Dan aku sudah yakin sama kamu. Bukan buat main-main."
"Bagaimana bisa? Kita belum lama kenal."
"Bisa. Aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali aku melihat kamu," ucapku yang seharusnya terdengar romantis, tapi sedikit janggal karena di depan telur dadar sama sayur bayam yang menjadi saksi bisu saat kata-kata keramat itu meluncur.
Dia menundukkan kepala, menatap pada jemarinya yang terangkum di atas meja. Ingin sekali aku meraihnya, mencoba menggenggam tangan Cintanya Aku itu. Oke mulai sekarang aku nggak peduli terdengar alay saat menyebut Camila dengan Cintanya Aku. Laki-laki sedang jatuh cinta mana ada yang pakai logika untuk mikirin kata, sih.
"Kamu tahu status aku apa?" tanyanya.
Aku mengangguk. Paham dengan statusnya sebagai seorang janda. Tapi nggak jadi masalah buatku. Aku nggak menganggap status jandanya menjadi batu sandungan untuk mencintainya.
"Jadi buatku, menikah itu nggak segampang seperti pertama kali aku menikah dulu. Aku nggak trauma dengan masa lalu, tapi buat orang yang sudah pernah gagal, banyak hal yang akan menjadi pertimbangan."
"Kalau begitu, apa aku bisa kamu pertimbangkan?"
Dia mengangkat alis.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...