"Kamu habis dari mana?" tanyaku pada Camila yang baru saja datang menjelang waktu makan malam.
“Lagi ingin jalan-jalan aja ke luar.”
"Kenapa kamu sendirian? Kan, bisa minta aku buat menemani kamu."
"Aku kira kamu sibuk, Mas. Aku nggak mau ngerepotin kamu," ujarnya lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Suara air terdengar dari dalam sana.
Setelah Camila selesai mandi dan bersalin pakaian, aku mengajaknya turun ke ruang makan. Namun Camila menggeleng, lalu melanjutkan menyisir rambut panjang sebahunya dengan pelan. Aku memandang dirinya dalam cermin meja rias. Sangat cantik.
"Kamu nggak makan malam?"
"Aku belum lapar, Mas." Camila berkata tanpa menatapku. Dia beranjak menuju tempat tidur lalu menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya.
"Apa kamu sakit?"
Camila terlihat pucat. Kutempelkan punggung telapak tanganku pada keningnya. Aku kaget saat dia dengan cepat menepis tanganku. Camila seperti berbeda. Sebelumnya, sikapnya tak pernah kontra terhadapku.
“Kamu kenapa?”
"Aku nggak apa-apa, Mas. Aku hanya capek. Sekarang, aku hanya perlu untuk tidur." Dia tersenyum hambar, seolah itu terpaksa dia tunjukkan. Dan tanpa menunggu tanggapanku, dia memejamkan matanya.
Aku beranjak keluar lalu kututup pintu kamar, membiarkan Camila menikmati tidurnya. Perbedaan sikap Camila menggangguku, tetapi mungkin dia memang sedang lelah.
•••
"Nggak enak!" Nina mendorong piring menjauh dari hadapannya. "Aku nggak suka masakannya Mbak Titin," keluhnya lagi.
Di meja makan ini hanya ada aku dan Nina. Papa dan Mama sedang menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu anak temannya. Aku melirik ke piring Nina yang masih penuh. Baru beberapa suap yang masuk ke mulutnya dan adikku itu sudah mengeluh.
Tanganku langsung gatal kalau tidak mencubit pelan pipi gembilnya yang kenyal. "Habisin, Nin. Nggak baik buang-buang makanan."
"Iih ... apa, sih, Kak!" sungut Nina yang paling sebal bila pipinya diutak-atik.
Nina lalu mengambil sebutir apel, menggigitnya, mengunyah dengan cepat, lalu menggigit lagi bagian daging apel yang lain.
"Aku lebih suka masakannya Kak Mila," cetusnya.
Kalau soal itu aku sependapat. Istriku memang pandai sekali memasak. Apa pun yang dimasaknya selalu enak dan tidak pernah mengecewakan. Dia paling hapal dengan makanan apa saja yang kusuka. Padahal sebelum Camila hadir di rumah ini, sudah ada Titin yang biasa memasak dan tidak ada masalah mengenai rasa masakannya. Tapi Camila hadir dengan cita rasa yang menurutku jauh sekali di atas Titin.
Aku berlebihan? Tentu tidak, karena itu faktanya. Jadi tidak heran kalau aku selalu tidak mau melewatkan kesempatan makan malam di rumah.
Ehm ... oke, kadang aku memang menghabiskan malam bersama Nadia. Wanita yang tidak pernah ada habis-habisnya berhasil menggodaku hingga naik ke atas tempat tidurnya, tetapi beberapa minggu belakangan ini entah mengapa aku lebih suka menikmati waktu malamku bersama Camila dibanding suguhan lingerie seksi yang selalu dipamerkan Nadia pada tubuh aduhainya itu.
Perlahan aku mulai melihat Camila dalam sudut pandang baru. Dia tidak lagi kuanggap sebagai orang asing yang mengusik hidupku, tapi aku sudah bisa melihatnya sebagai istriku. Aku mulai menyukai segala sesuatu tentangnya. Membuatku selalu ingin cepat pulang ke rumah demi mendapati dia menyambutku dengan senyum manisnya, menikmati makan malam bersama, dan setelah itu mendengar ceritanya sebelum kami tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...