"Nggak usah, Kin. Aku cuma terkilir biasa aja, kok."
Aku cepat menyergah tangan Keenan yang hendak menyentuh kakiku. Namun dia nggak peduli dan tetap berlutut di hadapanku, yang duduk berselonjor di atas sofa, lalu dengan perlahan disentuhnya pergelangan kakiku.
"Sakit nggak?" tanyanya sambil menekan mata kaki dan tumitku secara bersamaan.
Aku menggeleng, kemudian menjelaskan kalau baru akan terasa sakit kalau digerakkan. Pandanganku tak lepas memperhatikan Keenan yang masih mengusap kakiku dengan lembut. Seolah kakiku ini terbuat dari porselen yang perlu kehati-hatian ketika disentuh.
"Kenapa, sih, harus pakai lari segala. Kayak adegan di film India aja," seloroh Keenan lalu duduk di sebelahku. "Lagian ngapain juga si Dimas masih ngejar kamu? Kalau dia sudah tahu kamu ingin pergi, seharusnya nggak perlu dikejar. "
Kali ini ada nada ketidaksukaan dalam ucapan Keenan yang membuatku tidak enak kalau menceritakan penyebab aku harus menghindar dari Dimas. Tentang Mama Yasmin yang memakiku. Aku pikir Keenan nggak perlu mengetahui bagian itu.
"Aku baik-baik aja, Kin."
"Kalau kamu merasa sakit, nggak perlu ditahan."
"Besok juga sudah sembuh. Terkilir itu biasa. Risiko pakai high heels."
Keenan berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa, ya, para wanita sukanya pakai high heels? Padahal malah membuat kaki kelelahan.”
Aku tersenyum mendengar Keenan menggerutu, lalu berujar, "Karena dengan begitu kami bisa bertambah cantik."
”Asal kamu tahu, kami para lelaki juga nggak akan lihat kaki kalian terlebih dulu, kok. Seperti aku yang jatuh cinta karena mata indah kamu. Kamu itu sudah cantik tanpa perlu pakai sepatu yang ketinggiannya bisa bikin kamu mirip atlet senam akrobatik."
Lagi-lagi dia membuatku tertawa geli.
"Mungkin nggak semua berpikiran seperti kamu, Kin. Banyak juga, kan, laki-laki yang melihat wanita dari segi penampilan. Kalau dengan sedikit menderita bisa memberikan atau bahkan menunjang penampilan menjadi lebih baik, aku kira sah-sah aja," ujarku lalu menambahkan, "dan terima kasih atas pujiannya."
"Oke, bisa dimengerti. Wanita kebanyakan memang sewajarnya ingin bernilai plus-plus dalam penampilan. Tapi khusus untuk kamu, itu nggak perlu. Karena kamu sudah luar biasa cantik tanpa perlu ditambah-tambahin." Keenan mencubit pipiku pelan. "Apa kamu tahu bahaya terlalu sering memakai high heels?"
"Cedera kaki?"
"Lebih dari itu, osteoartritis, achilles tendinitis, meratar salgia, siatika, plantar fascitis."
"Aku nggak paham dengan istilah planet itu," candaku sambil menggelengkan kepala.
"Kamu nggak perlu tahu itu apa, yang pasti aku nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi hanya gara-gara high heels." Keenan tulus mengatakannya. Ada kekhawatiran yang kutemukan di sorot matanya saat menatapku.
"Karena aku terlalu sayang sama kamu."
Tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Tentang kejadian semalam yang kulalui bersama Dimas. Tentang aku yang malah mengungkapkan perasaanku pada Dimas. Tentang aku yang belum bisa memberikan Keenan hatiku dengan utuh. Aku tak ubahnya seorang terpidana, yang masih menjalani hukuman penjara, tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Dalam kasusku, dibebaskan dari jerat masa lalu bernama Dimas. Ditambah ciuman kami semalam, masih jelas membekas dalam ingatanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...