Masih pukul tujuh pagi saat aku mengantar Ayah ke kantor Kementrian Kesehatan di bilangan Jakarta Selatan, untuk menghadiri rapat gabungan dengan beberapa direktur RSUD dari beberapa daerah di Indonesia.
Kulirik Ayah yang sibuk dengan smartphone-nya di sebelahku. Namun tiba-tiba aku malah membayangkan Camila yang duduk di sana, berharap pagi ini tetap sama seperti biasanya. Mengantarnya ke kantor dan mengobrol sepanjang jalan. Itulah yang sedang kukhayalkan sekarang. Tapi buru-buru kubuyarkan pikiranku tentang Camila.
"Nanti Ayah diantar Nadia, kan, ke bandaranya?" tanyaku.
Karena kebetulan nanti malam ada tindakan operasi yang sudah terjadwal dengan salah satu pasienku. Sedangkan Ayah dan Tante Citra akan kembali ke Makassar malam ini.
Ayah yang nggak menjawab ataupun berkata sesuatu, tiba-tiba mengalihkan perhatian dari handphone-nya ke luar jendela mobil. Mungkin teringat sesuatu. Kulirik sekali dan Ayah masih terdiam. Pikirannya seperti sedang nggak pada tempatnya.
Kutepuk bahunya. "Kenapa, Yah?"
Ayah sontak menoleh, tersenyum tipis, menarik napas sejenak lalu berujar, "Nggak ada apa-apa. Hanya lagi memikirkan rapat nanti. Ada masalah internal yang seharusnya dari tahun kemarin bisa diselesaikan tanpa perlu campur tangan pihak kepala dinas, apalagi sampai orang-orang kementrian harus turun tangan juga," jelas Ayah.
Tetap saja aku merasa ada yang ayahku sembunyikan. Namun aku memilih untuk nggak bertanya lebih jauh lagi.
Pukul sembilan aku sudah melenggang masuk lobi rumah sakit. Satu jam lebih awal dari jadwal praktekku pada pukul sepuluh nanti, karena sebelumnya aku juga harus melakukan visit ke beberapa pasienku yang di rawat inap pasca melahirkan.
Ditemani seorang perawat bernama Dini, aku mengunjungi para pasien. Berbasa basi menanyakan kabar, menganalisa keluhan, memeriksa kondisi fisik, meresepkan obat harian, ataupun mengecek jahitan yang kubuat pada perut mereka yang menjalani proses caesar.
Lima belas menit sebelum pukul sepuluh, aku sudah keluar dari bangsal perawatan. Mengakhiri sesi visit hari ini. Dini yang juga akan menjadi asistenku di ruang praktek, berjalan mendahului untuk bergegas menyiapkan ruangan yang akan kupakai di lantai satu, sambil menyebutkan nomor ruangannya.
"109 ya, Dok. "
Jempolku teracung menanggapinya, lalu berbincang sebentar dengan seorang dokter senior di rumah sakit ini yang kebetulan bertemu di pintu masuk bangsal. Dan nggak lama kemudian aku sudah berbelok menuju lift. Di sana aku berpapasan dengan tiga orang residen di depan ruang radiologi. Aku melempar senyum dan membalas sapaan mereka.
Namun baru beberapa langkah aku berjalan menjauh, salah satu residen bernama Arin sudah menyejajari langkahku lalu berkata, "Nanti siang makan di mana, Dok?"
"Biasa," jawabku merujuk pada kafetaria rumah sakit yang sering kusinggahi untuk makan siang.
"Saya boleh gabung nggak, Dok? Sekalian ada yang mau saya diskusikan dengan Dokter."
"Boleh," jawabku ramah.
"Terima kasih, Dok," ujarnya yang masih mengikutiku hingga aku sampai di depan pintu lift.
Saat pintu lift telah terbuka dia berjalan mundur seraya berkata, "Sampai bertemu lagi, Dok." Dia tersenyum lebar sambil melambaikan tangan, lalu berbalik.
Terlihat agak sedikit berlebihan buatku bila Arin harus sampai melambaikan tangan seceria itu. Aku nggak merasa punya hubungan yang akrab dengannya, hanya sebatas senior dan junior yang beberapa kali Arin menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan obstetri dan ginekologi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...