Tanganku bergerak cepat men-dribble bola bundar cokelat itu. Dengan gesit menghindar dari Farid yang membayangi langkahku di depan. Dia menghalauku sebisa mungkin, tapi gagal saat aku kembali mengecohnya dengan melakukan gerakan memutar melewati sebelah sisi tubuhnya, dan langsung melakukan shooting.
Bola itu lolos dengan mulus, melesak masuk ke ring. Poinku bertambah mengungguli Farid. Kami terus bermain di tengah lapangan yang berada di dekat rumahku. Penerangan dari lampu sorot pada kedua sisi lapangan cukup membantu pergerakan kami di kegelapan malam yang semakin pekat. Lebih dari satu jam lamanya kami bermain. Menghabiskan waktu dengan olahraga yang sama-sama kami gemari sejak SMP itu.
Poinku kembali bertambah. Farid yang sudah mulai tampak kelelahan segera mengangkat sebelah tangannya, tanda untuk menyudahi permainan basket kami.
Farid dengan cepat melepas dasi dari kerah kemejanya yang sedari tadi telah longgar, melemparnya begitu saja, lalu merebahkan diri di tengah lapangan dengan kaki serta tangan yang dia rentangkan lebar-lebar.
Aku juga ikut melakukannya. Membiarkan punggungku yang basah oleh keringat bertemu dengan dinginnya semen. Kami sama-sama mengatur napas yang tersengal, sambil menatap langit malam yang sama sekali nggak berbintang.
"Kenapa malam ini langit nggak ada bintangnya, ya, Kin?" Pertanyaan Farid terdengar nggak penting.
"Karena nggak cocok kalau gue melihat bintangnya berduaan sama lo," jawabku asal.
"Kenapa nggak cocok?"
"Karena nggak mungkin jadi romantis."
"Kenapa lo sama gue nggak bisa jadi romantis?"
Aku menoleh padanya dengan raut wajah yang mengisyaratkan kesal, "Pertanyaan lo nggak mutu banget sih!"
Farid terkikik geli, lalu berkata lagi, "Karena kita bukan pasangan homo ya, Kin?"
"Yaiyalah, Onta!"
"Tapi kalau kita homoan mungkin seru juga, ya, Kin. Kita kan selama ini temenan seperti orang pacaran, nggak terpisahkan. Lo mau nyoba jadi homo? Mungkin aja lebih seru daripada jadi cowok straight."
"Najis!" sungutku.
Farid tertawa. Namun sedetik kemudian diam dan kembali memandang lurus ke atas langit. Aku ikut menikmati langit hitam yang kosong. Mungkin bintang saat ini sedang tertutupi lapisan awan atau kabut mendung di sana.
"Gue, tuh, pengin lihat bintang sama wanita yang gue cintai, Kin. Itu salah satu keinginan gue dari dulu."
"Lo pernah jatuh cinta?"
"Apa gue nggak pantas jatuh cinta?"
"Gue nggak yakin lelaki sebangsa kampret seperti lo, tahu yang namanya mencintai," candaku yang hanya disambut keheningan.
Aku heran dengan Farid yang nggak menangkis perkataanku barusan. Apa dia tersinggung? Tapi masa iya? Biasanya juga nggak pernah. Butuh beberapa detik sampai dia akhirnya bersuara.
"Kan, gue pernah bilang sama lo, kalau gue pernah jatuh cinta."
"Sama siapa?" tanyaku penasaran.
"Terus kalau lo tahu, apa itu bisa menguntungkan buat gue? Apa bisa wanita yang gue cinta itu jadi milik gue?"
Farid melirikku sekilas, lalu menggeleng. "Tentu nggak. Semuanya sama aja. Gue, ya, tetap gue yang nggak akan bisa memiliki dia yang gue cinta."
"Memangnya dia nggak bisa lo dapetin?"
"Kalau gue bisa dapetin dia, nggak mungkin gue nikah sama Sisil," tukasnya lalu diam lagi.
"Lo nggak mau kasih tahu gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMILA [ Sudah TERBIT]
RomanceCamila menikah dengan Dimas atas dasar perjodohan. Pengakuan Dimas mengenai dirinya yang memiliki kekurangan, tidak menyurutkan langkah pasangan itu untuk tetap bersama. Namun sebuah kebohongan terkuak dan memercik rasa sakit hati Camila. Hingga Ke...