CAMILA [12]

29.5K 2.8K 203
                                    

Menjadi seorang janda tentu bukan keinginan apalagi impian. Kisah para puteri yang menikahi pangerannya tidak pernah ditutup dengan sebuah akhir yang sedih. Putri dan pangeran menikah dan hidup bahagia selamanya. Selalu begitu. Di dunia nyata, akhir bahagia sebuah pernikahan tidak berlaku untukku. Statusku sebagai istri Dimas tidak dapat lagi bertahan.

Mungkin bila aku memilih untuk tidak berpisah dengan Dimas, aku tidak akan bekerja, tidak akan mengenal Sisil, tidak akan menerima permintaan teman sekantorku itu untuk mengajarinya memasak, tidak akan berdiri di dapur ini dan tidak akan menangkap mata lelaki yang sedari tadi tak lepas mengikuti setiap pergerakanku.

Aku tahu dia memperhatikanku. Sampai Farid berujar, "Si Keenan lagi suka cewek yang punya hobi masak."

Dia tampak salah tingkah, lalu buru-buru menarik tangan Farid meninggalkan kami yang sibuk di dapur.

Sisil selesai melarutkan tepung sagu dengan air kemudian menyerahkannya padaku, tapi aku memintanya menuangkannya langsung ke dalam wajan bersama bawang bombay dan cabai merah yang sedang kutumis. Bagian terakhir dari membuat saus yang nantinya akan disiram pada potongan ayam fillet tepung yang sudah digoreng.

Ini kedua kalinya aku bertandang ke rumah Sisil. Dia meminta untuk diajarkan resep ayam kuluyuk. Salah satu dari beberapa resep menu makanan yang sudah pernah kami buat bersama. Sisil selalu berdalih tidak dikaruniai bakat memasak yang baik ketika aku mengatakan kalau setiap orang pasti bisa memasak. Hanya saja soal cita rasa yang menjadi pembedanya.

"Keenan sepertinya suka sama kamu, Mil."
Aku mendongak dari bahan saus ayam kuluyuk yang mulai mengental sambil terus kuaduk. Sisil mengangkat alisnya, menunggu tanggapanku. Namun aku hanya mengedikkan pundak lalu kembali fokus pada masakan.

"Dia laki-laki yang baik. Kamu mungkin harus lebih jauh mengenalnya."

Aku cukup menanggapinya dengan senyum. Jujur, aku tidak tertarik. Meski itu adalah seorang Keenan yang menyukaiku. Dia memang tampan dan aku bukan tipe wanita yang mudah tergila-gila pada ketampanan semata. Lagipula aku tidak sedang dalam kondisi yang siap untuk memulai awal baru bagi hatiku. Aku masih menutup pintu hati ini sejak satu tahun yang lalu.

•••

"Kin, tolong sekalian antar Mila pulang, ya. Lo, kan satu arah sama dia." Farid terlihat mengedipkan sebelah matanya pada Keenan, yang buru-buru kutolak tawarannya itu.

"Udahlah bareng Keenan aja, Mil. Lagian udah malam, ngeri kalau harus naik taksi sendirian," sambung Sisil.

Kulirik Keenan yang ternyata sudah membukakan pintu mobilnya untukku. Dia tersenyum sambil sebelah tangannya mempersilakanku untuk masuk. Aku tak bisa lagi menolaknya.

Ada beberapa menit yang terlewat dalam keheningan di antara kami. Keenan fokus dengan jalan di depannya, sedangkan aku sibuk dengan ponselku yang sebenarnya pun aku tak tahu mau melakukan apa pada benda mati ini.

"Masakan kamu enak." Keenan berkata saat aku sudah mulai memutuskan untuk membuka game klasik di ponselku.

Aku menoleh, dia tersenyum.

"Terima kasih pujiannya."

"Belajar masak di mana? Pernah ikut kursus, ya?" tanyanya.

"Otodidak, kok. Aku nggak pernah ikut kursus."

"Oh ya?"

"Aku dulu suka bantu-bantu ibu kalau lagi masak, jadi otomatis terbiasa," jelasku

Keenan kembali fokus ke depan. Aku menempelkan kepala pada kaca jendela.

Hanya hening untuk beberapa saat. Sampai dia berkata lagi, "Aku suka masakan rumahan. Bosan kalau setiap hari makan di luar terus."

"Memangnya di rumah kamu nggak ada yang masakin?" tanyaku yang langsung dibalasnya dengan gelengan kepala.

CAMILA [ Sudah TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang